SEMENANJUNG Peninsula nyaris lewat
tengah malam ketika pesawat rute Jakarta ke Kuala Lumpur menyentuh landasan
pacu di bandara KLIA2. Euforia perjalanan baru akan dimulai. 4 Negara, 10 Kota
dalam 12 hari perjalanan menggunakan tiket pesawat yang lagi-lagi nyaris
gratisan, sungguh membuat hidup ini indah, seindah Indah Kalalo.
Tersebutlah Airasia, maskapai berwarna
merah dan bukan berplat merah yang telah membantu saya melihat dunia.
Perjalanan kali ini murah meriah. Ada 7x
jadwal take off-landing yang harus
saya ikuti secara disiplin. Pasalnya tiket yang saya miliki adalah tiket
gratisan dan nyaris tidak bayar. Kalau tertinggal bisa berabe. Jangan tanya
bagaimana caranya bisa mendapatkan tiket gratis, itu buah manis hasil berburu
tiket murah di musim promo. Selebihnya hanya keberuntungan.
an Indonesian in Indochina |
Saya mau pamer tiket murah dulu, silahkan
disimak dan jangan jengkel sambil merutuki diri “kok gw gak dapet-dapet sih”. Kawan, jika belum berhasil mendapatkan
tiket gratisan, ada tips klise yang sangat berguna yaitu sabar, sabar, dan
sabar. Kalau gagal, coba lagi.
Rute #1 Jakarta – Kuala Lumpur, harga 2.000
IDR
Rute #2 Kuala Lumpur – Vientianne, harga
500.000 IDR
Rute #3 Vientianne – Kuala Lumpur, harga
500.000 IDR
Rute #4 Kuala Lumpur – Bangkok, harga 0 IDR
alias gratis
Rute #5 Bangkok – Chiang Mai, harga 30.000
IDR
Rute #6 Chiang Mai – Hadyai, harga 60.000 IDR
Rute #7 Kuala Lumpur – Jakarta, harga 2.000
IDR
Ditambah dengan biaya pajak bandara
dan sebagainya, total jenderal pengeluaran tiket adalah 1,8 juta. Murah bukan,
tapi bukan murahan. Saya bukanlah kaum berduit yang berlibur dengan mahal
kemudian bangga, tapi saya berusaha bagaimana agar tetap liburan nyaman dengan
bajet terbatas dengan super bangga.
Perbekalan |
Terbirit-birit saya menuju bandara
Soekarno Hatta. Naik Damri sepulang kerja dengan waktu mepet, ternyata toll
bandara mampet. Perkaranya ada as roda truk patah dan menyebabkan truk
itu melintang ditengah jalan. Jangan tanya kok bisa, semuanya bisa terjadi
selama masih di Indonesia. Beranak dalam kubur saja bisa, apalagi hal remeh
temeh macam as roda patah. Padahal jika pada penerbangan pertama ini saya
terlambat, bisa khatam sudah rentetan perjalanan sesudahnya.
Ternyata saya terlambat! Akibat macet
tadi. Bukan saya saja, tapi sang pesawat juga terlambat. Semua terlambat,
kereta terlambat, pilot terlambat, pramugari terlambat, capres terlambat, pamerentah
terlambat, Nyonya Meneer saja yang tidak terlambat karena dia sudah berdiri
sejak 1919.
###
Dini hari saya berjumpa Malaysia. Setiap
kali bertandang, makin maju saja negara ini. Jadi tidak enak dengan negara
sendiri. Ah ibarat pribahasa, rumput tetangga memang selalu lebih hijau
daripada rumput sendiri. Sudahlah, mari istirahat. Mumpung karpet bandara masih
baru. KLIA 2, saya izin ngampar sejenak.
Please Wake me up at 5AM |
Orang baik sangat banyak. Saya senang
bertemu dengan orang baik, mereka gemar menolong apa saja. Seperti pagi ini,
ada tiga perempuan asal Indonesia sebut saja Ulfah, Ainun dan Dibah, yang
membangunkan saya setelah melihat pesan yang saya tulis di kertas. Ketiga
perempuan ini dalam lawatannya menuju Singapura, demi belanja.
am ready for Laos |
Selepas Imigrasi, saya kembali berada
di ruang tunggu. Ada tiga orang kakak beradik yang dari gerak-geriknya, saya taksir
berasal dari Indonesia. Saya sudah seperti seorang ahli, bisa membedakan
seseorang berasal dari Negara mana hanya dengan meliatnya sepintas. Dugaan saya
benar. Saya sapa mereka, dan mereka mengaku tidak hanya berasal dari Indonesia,
tapi satu daerah dengan saya, berasal dari Depokian. Dunia memang hanya selebar
daun kelor dan sejauh lemparan kolor.
Perkenalkan teman baru saya, Maya –
anak pertama, Ilyana – anak kedua, dan Ilyas – anak ketiga. Semuanya berencana
berkeliling Laos, keluarga yang kompak. Benar adanya bahwa merantau menambah
teman dan kerabat, semakin jauh dari rumah semakin akrab. Pesawat lepas landas,
membawa kami ke ibukota Laos, Vientianne.
Ilyana, Ilyas, Maya - Depokian di Laos |
Matahari sudah naik sepenggalah ketika
kami menjejakkan kaki di Wattay Airport. Asing, asing sekali. Hal yang masih
asing bagi kami, menjadi kesempatan emas cecunguk Vientianne mengumbar jasa.
Tarif taksi dipatok 70ribu kip untuk menuju pusat kota Vientianne. Kami menurut
saja. Sang sopir taksi menawarkan jasa angkutan ke Vang Vieng dengan bus seharga
80ribu kip. Sekali lagi kami menurut saja. Baru tahu belakangan bahwa tarif
resmi antara Vientianne ke Vang Vieng hanya separuhnya. Tengik benar.
Wattay International Airport - Vientianne |
Saya wanti-wanti jika ada kawan yang
ingin berkunjung ke Laos harus lebih berhati-hati dan jangan percaya dengan
supir tuktuk dan supir taksi. Camkan bahwa tarif Vientianne ke Vang Vieng
adalah 40 ribu kip untuk sekali jalan.
Normal bus fare Vientianne to Vang Vieng is 40.000 kip. Remember that! |
Memang dasar lidah tak bertulang, kenek
bus bikin janji tapi hanya janji berbuih. Harusnya kami hanya menempuh 3,5 jam
perjalanan menuju Vang Vieng dan itu sudah termasuk menerjang jalanan berlubang
bak kubangan sapi. Kenyataannya si bus berjalan amat sangatlah lambat. Nyaris 6
jam kami tiba di Vang Vieng. Hari terlanjur menjelang sore.
Route 13, the most famous road from Vientianne - Vang Vieng - Luang Prabang |
Vang Vieng tak ubahnya sebuah desa
diantara Vientianne dan Luang Prabang. Atraksi menarik di Vang Vieng adalah
wisata Sungai Nam Xong dan jelajah gua. Ada banyak sekali gua disekitar Vang
Vieng. Setelah kami menemukan tempat bermalam, kami mencoba meluruskan punggung
dan mencoba kuliner setempat.
You can choose to walk or take minibus to Vang Vieng village from this bus station. once we reached this bus terminal, we have no idea where we are. We only know that it is Vang Vieng. |
Mendapatkan sungai Nam Xong sebagai pemadangan,
laksana obat pelipur lara akibat dibohongi jalan raya Vientianne ke Vang Vieng
yang bernama Rute 13. Celaka, celaka sekali.
Landing Vang Vieng |
Prestasi pemandangan sungai Nam Xong
pada daftar perjalanan saya menempati urutan kedua setelah sungai Tungabhadra
di Hampi India sana. Sungai Nam Xong meliuk-liuk di lereng perbukitan Vang
Vieng dan berkesan mistis. Terlebih lagi ketika menjelang petang.
Backyard, simply georgeous. |
Laos yang bekas jajahan Perancis
melahirkan banyak sekali peninggalan bernuansa romantisme Perancis. Misalnya
roti baquette yang disebut sandwich dengan berbagai pilihan isi. Mulai dari
telur, babi, tuna, ayam, sayur hingga keju. Favorit saya adalah isi tuna.
Selain kuliner, banyak juga ditemukan bangunan ala Perancis yang masih cantik
ciamik.
BIG Tuna sandwich |
Kami lalui hari pertama di Vang Vieng
hanya dengan berkeliling desa dan beristirahat. Tak dinyana tempat
peristirahatan kami yang berharga 70ribu kip per malam bersebrangan langsung
dengan bar, yang mana ketika malam tiba, hingar-bingar nya sungguh mempesona.
Ajeb ajeb sekali lagi ajeb.
Vang Vieng's monks |
###
Kami sepakat menyewa motor untuk
berkeliling Vang Vieng. Per motor yang kami sewa seharga 50ribu kip untuk 12
jam sudah termasuk bensin 2 liter. Berbekal peta dari sang pemilik motor,
tujuan kami yang pertama adalah susur gua. Entah gua mana, yang pasti gua yang
kami datangi nun ditengah desa. Ditengah ladang. Dikelilingi sapi. Dibawah
rimbunnya pohon. Angker.
Road to heaven |
Jalan raya di Vang Vieng selain rusak
parah juga akan menimbulkan kepulan debu ketika ada mobil atau truk yang
melintas. Khawatir terkena penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut, maka kami
membekap erat-erat mulut dan hidung ketika berpapasan dengan kendaraan lain.
Sesaknya napas bikin perjalanan makin panjang.
Cave activity |
Tujuan kami selanjutnya adalah the
Blue Lagoon. Letaknya hanya 7km dari desa Vang Vieng. Mengingat kondisi jalan
yang amburadul, ditambah kondisi cuaca yang amat menyengat, kami sangat
menginginkan segera sampai di the Blue Lagoon. Hari itu terik matahari nyaris
43 derajat. Kering kerontang.
Toll road |
Kami sebrangi jembatan kayu yang
melintas diatas sungai Nam Xong. Bergiliran. Bergemeretak. Dua kali motor yang
ditumpangi Ilyas dan Maya terjerembab di jalanan berpasir. Jalanan menuju the
Blue Lagoon benar-benar penuh debu. Terlebih ketika ada mobil melintas, pasir
jalanan menguar ke udara, mengepul bak asap, membumbung laksana kabut di siang
hari bolong. Kami hanya tersedak menutup hidung.
Green or Blue? am colorblind |
The Blue Lagoon, benar-benar biru. Bukan empang. Mirip
kali, tapi tak berarus. Airnya jernih menyegarkan. Kenapa bisa biru, karena di
dasar laguna banyak lumutnya. Dengan pembiasan cahaya matahari dan rindangnya
pohon disekeliling laguna, menghasilkan efek warna biru. Kami girang akan
berenang.
Blue Lagoon, smoking weed is prohibited. |
Ada
sebatang pohon yang menjuntai ke arah laguna. Penduduk setempat berkreasi
memasang tangga di batangnya. Dari sana saya coba panjat dan mulai lompat ke
laguna. Sensasinya luar biasa. Ketika kaki bertolak dari dahan, rasanya hidup
bukan milik saya lagi. Walau hanya sesaat. Kembali tersadar ketika tubuh menyentuh
air. Rupanya tadi saya mati suri. Saya ketagihan, mencoba lompat lebih tinggi
lagi, berharap mati suri agak lebih lama sedikit.
Bengong in Nam Xong |
Petang
di Sungai Nam Xong. Ini cita-cita saya setelah rekan saya, Bodhi botak, pernah
melakukannya di Vang Vieng beberapa tahun silam. Gara-gara Bodhi saya terobsesi
untuk menjelajah Asia Tenggara.
Chang Cave's bridge accross the Nam Xong river |
Ternyata agenda bengong di Sungai Nam Xong
memang asik. Apalagi ketiga teman saya langsung ke Luang Prabang setelah kami
kembali dari the Blue Lagoon. Khusyuk benar acara bengong di pinggir sungai.
Ajeb, ajeb, dan ajeb. |
Petang
mulai datang memikat, ini malam kedua saya di Vang Vieng, dunia terasa damai.
###
Mendapatkan sticky rice manggo ala Vang Vieng sebagai menu sarapan. Kali ini angkutan jasa mobil
sepakat 40 ribu kip saja untuk sekali jalan. Kawan, jika berkunjung ke
Vientianne dan Vang Vieng, saya amat sarankan naik mobil travel saja dan jangan
bus. Sungguh perjalanan menggunakan bus dari Vientianne menuju Vang Vieng tidak ada
faedahnya.
Delicious! |
Kembali
cecunguk Vientiane beraksi. Saya juga merasa kurang siaga dan responsif. Bisa-bisanya
tertipu tukang tuktuk. Untuk jarak sekitar 200 meter, saya harus bayar 20 ribu
kip. Begitu turun, saya damprat habis si tukang tuktuk. Entah dia mengerti atau
tidak intinya saya bilang ke dia: kenapa kamu tipu saya, ini jarak dekat,
kenapa kamu bilang jauh? Kamu tahu, sebentar lagi pariwisata di Vientianne ini
akan rusak karena ulah orang macam kamu.
In English. Emosi di negara orang tidak berguna, daripada saya darah
tinggi tetap saya bayar tukang tuktuk penipu itu. Kelar.
Bang Toyhib was here. |
The
Journey is My Home, mural yang ada di tembok kamar saya di Vientianne
Backpacker Guesthouse. Belokasi di dekat Ban Mixay, atau kuil Ban Mixay.
Sekamar isi 13 orang. Macam sarden berjejer-jejer. Saya tinggal disini semalam
saja dengan tariff 40 ribu kip per malam. Sudah termasuk sarapan pagi.
Penghuninya beraneka, salah satu diantaranya gemar mengumpat. Mengeluh sampai gaduh. Saya heran dengan orang
seperti ini, dia tinggal di dormitory tapi berharap tinggal di hotel. Padanan
katanya juga selalu dibubuhi kata f*cking sebelum kata sifat. Saya terka
orang macam ini pernah tidak naik kelas.
King Anouvong |
Kota
Vientianne, walaupun panas, untungnya punya trotoar lumayan. Kesudut kota
manapun bisa ditempuh dengan jalan kaki. Perjalanan dalam kota, saya mulai
dengan mengunjungi patung Anouvong. Patung sebesar patung Jenderal Sudirman,
yang menghadap bukan ke Jalan Sudirman, tapi ke sungai Mekong. Anouvong adalah
raja terakhir di Laos, patungnya menatap kearah Thailand yang ada nun
diseberang Mekong.
Presiden Palace |
Dibelakang
Anouvong terdapat istana presiden. Saya terus berjalan menyusuri trotoar istana
melewati rumah sakit Mahosot. Di dekat situ ada kuil Ho Pakeo dan Wat Sisaket.
Banyak sekali wat yang berarti kuil.
Ho Pakeo Temple |
Wat Sisaket |
Tujuan saya adalah ke Victory Monument
alias Patuxay Gate. Bangunan ini mirip sekali dengan Arc De Triomph di Paris.
Tidak heran karena memang Laos bekas jajahan Perancis. Nuanasa Paris sangat
kental di Vientianne.
Victory Monument a.k.a Patuxay Gate |
Ada
yang bikin saya bangga dengan Indonesia ketika tiba di Patuxay Gate. Ketika
berjalan kearah utara, saya temukan sebuah gong besar seperti yang ada di
Ambon. Judulnya Gong Perdamaian Dunia. Pemberian Indonesia, sungguh bangganya
gong negara saya dipajang di pelataran Victory Monument. Luar biasa.
Made in Indonesia :) |
Pha That Luang's Sleeping Budha |
Berkunjung
ke Vientianne harus wajib mampir di Pha That Luang. Ini adalah ikon kota
Vientianne. Sebuah kuil berwarna kuning keemasan yang memang cantik. Ibarat ke
Jakarta jika belum lihat Monas, kurang afdhol.
Spoiler for Pha That Luang |
Dari
Pha That Luang saya kunjungi That Dam. Sebuah kuil tua yang nyempil diantara
kedutaan Amerika dan daerah penduduk. Baru dari sana saya sadar ketika ingin
membeli minum bahwa uang kip saya tinggal 24 ribu. Drama pun dimulai.
That Dam |
###
Minuman
seharga 3000 kip itu tak bermerek. Yang penting malam ini tidak kehausan.
Sebenarnya masih ada pecahan dollar senilai 50 di dompet, tapi ketika saya
tukarkan itu, maka akan jadi banyak lagi uang kip saya. Padahal besok saya
berencana hengkang dari Laos. Saya bisa menahan lapar malam ini, tapi tetap
butuh uang untuk menuju bandara besok paginya.
Vientianne traditional markt near Pha That Luang |
Dilema
oh dilema, saya tukar dollar jadi punya banyak sekali kip, kalau tidak saya tukar harus ada cara menuju
bandara. Baiklah saya putuskan untuk tetap tidak menukar dollar. Demi
kelangsungan hidup di negara selanjutnya. Untuk menuju bandara, saya akan
mengandalkan GPS. Murah meriah canggih.
Alkisah
sekitar 8 km saja jarak antara penginapan saya dengan bandara. Cincay lah. Saya
terka hanya satu jam perjalanan akan sampai di bandara. Selepas sarapan
gratisan dari hostel, saya kemas tas dan langsung jalan menuju bandara. Ini
kali kedua saya jalan kaki menuju bandara. Pengalaman pertama adalah jalan kaki
menuju bandara di Pulau Langkawi, dan itu 12 km. Saya jadi berandai-andai ingin
membuat suatu klub berjudul Jalan Kaki ke Bandara.
8 km walk, am ready for the next destination. Laos till we meet again. |
Wattay
airport, sebentar lagi saya mengudara menuju Thailand,
berhadapan dengan jam malam. Bersambung.
@arkilos
kreseckers@gmail.com
kok pendek amat story na, khan fotona banyak beuuuddddd
BalasHapusmore.... more.... more.....
Seru bangettt
BalasHapus