BUS
yang saya tumpangi berlari seperti kuda larat musabab jalanan yang rusak
parah. Lubang-lubang selebar tempayan menganga bak kubangan sapi dikala musim
hujan. Gambaran ini pernah saya lihat ketika menonton film Tanah Surga, dimana
aspal dan tanah saling bersenjangan. Kini saya rasakan. Konon kabarnya jalanan rusak ini merupakan tanah surga. Saking penasarannya, saya tandaskan jalan Lintas
Malindo hingga tak bersisa, sampai saya tiba di sebuah tempat bernama
Entikong. Melewati Entikong, habis sudah
Indonesia, pagar pembatas menyortir satu-persatu pelintas batas. Bagi penerabas
tak berizin lengkap paling hanya bisa lari lingkang pukang berkejaran dengan
petugas karena masalah sepele, yakni gagal
menyelundupkan narkotika.
Panas menjerang di Pontianak melengkapi
suasana seharian berkeliling menyusuri sungai Landak. Hilir sungai Landak
ternyata bertemu di sungai Kapuas yang menjadi sungai terpanjang di Indonesia. Kedua
sungai bermuara menjadi satu, bersama menuju laut, seolah membelah Pontianak
menjadi dua.
Ada garis imajiner bernama khatulistiwa dianugrahi Tuhan untuk Pontianak. Garis yang membelah bumi menjadi sama besarnya itu persis melintas di sisi utara sungai Kapuas. Sebuah kayu ulin
pun ditancapkan untuk menandai keberadaan garis khatulistiwa. Penanda mana bumi bagian utara dan selatan. Konon pada
tanggal tertentu, muncul fenomena yang disebut ekinoks, bayangan benda niscaya
hilang karena matahari benar-benar berada diatas, vertikal tegak lurus. Bukan
main.
Menurut saya, entah kenapa
suasana di tempat kapal-kapal berlabuh selalu suram. Selalu terasa panas,
keras, kasar dan penuh marabahaya. Malam ini saya sedikit beruntung, mendapatkan
penginapan di dekat pelabuhan. Artinya harus ekstra waspada. Benar saja, baru
lima menit berada di kamar, sosok seseorang yang mengikuti dari warung tadi,
sudah mengetuk pintu. Bisa-bisanya penginapan ini dimasuki orang dengan bebas.
Saya tidak membukakan pintu,
karena saya tahu betul siapa yang ada dibaliknya. Pelacur kelas teri yang
mangkal di pelabuhan itu rupanya mengikuti setelah saya selesai membeli air
minum. Sempat saya melirik tadi, rok mininya membalut ketat di atas paha, kaus merah jambunya
pun model “you can see” sesuai motto hidupnya you can see everything. Dia berharap bisa mengundang berahi dengan
wajah berdempul bedak dan mengurai rambut hingga sepanjang ketiak. Bahkan
saking tingginya hak sepatu yang dia pakai, saya khawatir dia akan jatuh
terjerembab ketika berjalan perkara kakinya tidak bisa mengatup rapat. Saya
kunci pintu kamar dan berdoa, karena dia terus mengetuk seraya memanggil dengan
suara yang jauh dari nada sopran. Dia berusaha keras menyembunyikan kontur
suaranyanya yang nge-bass. Sepenuh jiwa dia berusaha menyamarkan getaran suara
yang hasilnya terdengar tidak lebih dari tipikal suara bariton sedang melenguh. Oh, pagi
cepatlah datang.
Resepsionis penginapan
tertawa terpingkal-pingkal. Rupanya dia biang keladi teror semalam. Lepas check-out, saya bersumpah tidak akan
tinggal di penginapan itu lagi. Resepsionis meminta maaf dan mengantarkan
menuju ke agen bus antar negara untuk membayar penyesalan. Bus antar negara Damri
akan membawa saya menuju Serawak.
Batang Tarang adalah desa
pertama yang dilalui bus dengan aspal yang mulai bergeronjalan. Tabiat asli
jalan raya Malindo mulai menampakan diri. Lepas dari Batang Tarang, bus masuk
ke desa Senbayang kemudian menuju Sosok, lalu lanjut masuk ke Kelompu. Makin jauh makin
rusak. Hingga bus berhenti di Sekayam Pedalaman demi mengecek as roda. Selagi
berhenti, saya manfaatkan untuk mencoba durian di pedalaman Kalimantan. Rasanya
amboi, legit tiada tara. Perbatasan sudah tidak jauh lagi, setelah Sekayam
muncullah Entikong. Salah satu ujung Indonesia. Saya bermalam di bus menunggu
pagi. Menunggu imigrasi buka jam 5 subuh.
Antrian kendaraan menuju
Serawak Malaysia sudah mengular. Padahal hari masih gelap. Saya bersama ratusan
orang lain mengantri –tapi-tidak-rapi di mulut Imigrasi Indonesia. Menyodorkan
paspor untuk mendapat izin keluar negara. Beberapa meter ke depan, saya akan
meninggalkan tanah surga. Apakah saya akan masuk neraka?
”Apapun yang
terjadi pada dirimu jangan sampai kehilangan cintamu pada negeri ini. Genggam
erat cita-cita mu. Katakan pada dunia dengan bangga, kami bangsa Indonesia” – Pejuang Indonesia
Lompat dari pagar Indonesia,
saya merasa peradaban langsung maju beberapa puluh tahun. Dimana jalan aspal
mulus kembali tersaji. Ah, pasti saya bukan di Neraka. Tapi katanya tadi saya
berasal dari tanah surga. Ah, tidak tahulah, yang saya tahu Indonesia tanah
surga. Pejuang Indonesia pernah berpesan apapun yang terjadi pada dirimu jangan
sampai kehilangan cintamu pada negeri ini. Genggam erat cita-cita mu. Katakan
pada dunia dengan bangga, kami bangsa Indonesia. Halo Kuching!
@arkilos
**Sedikit tips semoga berguna ketika lapar di Pontianak:
1. Kudu wajib nyobain Chai Kue Pontianak. Bentuknya mirip dimsum, isinya ada bengkuang, ku chai, keladi, kacang dan rebung. Dimakan pas hangat, meleleh di tenggorokan. Dijamin.
2. Pas bengong sore-sore di pinggir sungai Kapuas, jangan lupa bekel kue Bingke. Rasanya ada yang original yaitu berasa butter dan ada yang sudah ditambah rasa ini itu macam pisang, nanas, nangka, durian, dll. Paling pas ditemani teh panas.
3. Kepanasan di Pontianak? Pastinya. Supaya gak kegerahan, coba tenggak minuman khas Pontianak yaitu Es Lidah Buaya. Niscaya buaya-buaya sungai ikutan jinak dikasi minuman ini :)
Komentar
Posting Komentar
Komentar aja mumpung gratis