Mencuci Jiwa di Teluk Kabui, Membersihkan Raga di Laut Flores

MENGUTIP Lin Yutang -seorang pengelana disana- “no one realize how beautiful it is to travel until he comes home and rests his head on his old familiar pillow”, saya baru merasakan maknanya ketika saya sampai di rumah, rebahan di tempat tidur, nyenggol bantal kesayangan. Sekelebat perjalanan limabelas hari terakhir seolah di-rewind sebagai pengantar tidur. Indah sekali, indah tak terperi.

Mimisan. Saya ambil selembar tissu dan berniat mau buang ingus. Ternyata darah semua. Tissu putih bersih jadi merah darah. Panik, tapi perjalanan masih jauh. Masih separuh lebih  perjalanan yang harus ditempuh. Seminggu lalu saya berada di Soekarno Hatta Airport, tidak mimisan. Kali ini saya kembali lagi disini. Kala itu, saya memulai perjalanan dengan tujuan Raja Ampat di Papua. Menang lotere, anggap saja begitu. Ada pihak yang mensponsori perjalanan saya dan berbaik hati membelikan tiket pesawat tujuan Sorong pergi-pulang.


Hari pertama tidak begitu banyak yang dilakukan. Perihal packing sudah dilakukan sejak dua hari sebelumnya. Terlalu bersemangat. Maklum akan ada limabelas hari mendebarkan di depan sana. Mengemas ransel dan tetek-bengek ini itu, sampai menjejalkan kaki katak di samping tas. Mengunjungi Raja Ampat dan Labuan Bajo sekali gibas, benar-benar rejeki nomplok di akhir tahun 2013. Mimpi, sekali lagi hanya mimpi dan cita-cita yang membawa saya ke tempat-tempat indah di Indonesia.



All my bags are packed

Penerbangan Garuda Indonesia rute Jakarta ke Ujung Pandang sebagai tempat transit sebelum Sorong, ternyata delay. Alasan klise Bandara Soekarno Hatta, terlalu sibuk. banyak pesawat antri untuk lepas landas dan mendarat. Saya masih tenang-tenang saja menikmati secangkir kopi dan kue di eksekutif lounge, hasil gratisan dari bank langganan karena tempo hari saya berhutang banyak kepadanya. Mungkin si bank takut saya kabur, jadi saya diikat dengan kartu kredit berfasilitas makan minum gratis di bandara yang bebas iuran tahunan seumur hidup. Disumpal-lah mulut saya dengan kopi susu. Si bank paham betul bahwa krediturnya hobi jalan-jalan. Sekali lagi saya senang-senang saja.


Di lounge gratisan itulah nasib mempertemukan kami. Ada dua orang yang akan menuju Sorong, mereka menabung demi melihat Raja Ampat. Bagi mereka Raja Ampat adalah destinasi paling utama di Indonesia. Prinsip mereka, wujudkan mimpi di Teluk Kabui. Mereka adalah teman baru saya, Findo dan Nano. Pesawat lepas landas, kami mengudara menuju Ujung Pandang.

###



Hari kedua kami lalui tengah malam budeg di bandara Hasanuddin, Ujung Pandang. Lagi-lagi pesawat yang akan membawa kami menuju Sorong terlambat. Hingga ada seorang penumpang yang kesal dengan petugas dan memaki-maki karena tidak becus mengatur lalu lintas pesawat. Orang itu bernama Adhi, kami berkenalan dengannya dan dia juga menuju Sorong. Belakangan kami baru tahu alasan Adhi marah-marah karena dia takut tertinggal kapal yang akan membawanya dari Sorong menuju Waisai. Bersekutulah kami dengan Adhi menuju Raja Ampat. Bersekutu tambah mutu. Padahal supaya biaya perjalanan jadi makin murah, karena ditanggung bersama.

DEO Airport


Tepat pukul 07.00 WIT, pesawat kami medarat di bandara Domine Eduard Osok (DEO) di kota Sorong. Calo khas bandara Indonesia menawarkan jasa pengantaran. Kami masih adaptasi. Sebenarnya ada cara jitu menolak hipnotis para calo bandara/terminal/stasiun. Caranya adalah bersikap tenang dan jangan terburu-buru. Bahkan kalau bisa abaikan saja para calo itu, jadi kita bisa berfikir mau kemana dan berapa harga yang akan kita bayar jika sampai menggunakan jasa mereka. Walau belum pernah datang ke tempat itu sebelumnya, buat seolah-olah sudah ratusan kali kita menjejakan kaki disana. Seringkali tawaran calo melenakan, dan tau-tau kita sudah hinggap di kendaraan yang mereka tawarkan dengan persetujuan biaya transportasi yang mencekik leher.

Pelabuhan Rakyat - Sorong

Kami memutuskan menuju kota Sorong naik angkot. Mencoba kuliner setempat, barulah menuju ke pelabuhan. Kota Sorong tidak terlalu menarik, setelah satu-dua foto dan mencari makan siang, kami menuju ke Pelabuhan Rakyat. Menunggu disana hingga ferry kami diberangkatkan tepat pukul 14.00 WIT. Ferry Sorong ke Waisai cukup bagus dengan harga tiket 140 ribu untuk sekali jalan di kelas ekonomi. Satu hal yang sangat tidak nyaman adalah adanya bau tak sedap selama di kapal. Konon bau minyak babi yang dioles ke badan sebagai anti nyamuk. Jadi semacam losion. Baunya sungguh memabukan.

Economy Class Cabin Sorong-Waisai, wewangian minyak babi menyemarakkan perjalanan

Kurang lebih tiga jam perjalanan dengan ferry N.V. Bahari Express, kami tiba di Port of Waisai. Hari menjelang sore dan harus segera mencari penginapan. Harga penginapan di Waisai rata-rata dihitung per kepala. Lumayan mahal memang. Rasanya tarif resor tidak cukup bagi kresecker macam kami. Tapi mau bagaimana lagi, kami sudah ada di Waisai.

Pelabuhan Waisai
Warung pojok di pelabuhan Waisai jadi pilihan untuk menuggu. Numpang nge-charge, numpang toilet, numpang duduk, numpang nginap sekalian kalau bisa, kalau boleh. 

Bete nunggu di warung pojok

Ditengah kegalauan, datanglah rejeki perjalanan. Musafir yang mempunyai niat baik seperti kami selalu mendapat belas kasihan. Tiba tiba mampirlah seorang bapak yang membeli rokok di warung pojok. Bapak Hengki orang Papua asli. Dia menyapa kami dan menanyakan mau kemana. Kami katakan mau liat Raja Ampat. Desperado benar kedengarannya. Pak Hengki bercerita bahwa kebetulan dia baru memulai usaha kecil-kecilan di dekat pulau Mansoear di Raja Ampat. Usahanya berupa rumah singgah sederhana. Jika kami mau, boleh kami sewa. Tapi tidak malam ini, karena pulau Mansoear terlalu jauh dari Waisai dan hari beranjak malam.


Setelah negosiasi, kami setuju dengan harga yang ditawarkan pak Hengki. Dimana kami boleh menginap selama empat hari, disediakan makanan sederhana dan diajak keliling Raja Ampat plus menumpang menginap malam ini sebagai bonus di rumah pak Hengki di pulau Friwen. Masing-masing orang diwajibkan membayar dua juta rupiah. Saya rasa harga yang pantas dan paling murah jika dibandingkan harus menginap di resor-resor yang akan membuat kantong jebol.


Berangkatlah malam itu naik perahu yang lebih mirip sekoci darurat ke pulau Friwen. Pak Hengki jadi Nahkoda di cuaca malam nan hujan. Tanpa terpal penutup kapal, tanpa penerangan lampu. Kami macam menghantarkan nyawa pada laut Sorong di malam pertama kami di Raja Ampat.



Singgah sejenak di pulau Friwen
Pulau Friwen ternyata lumayan ramai penduduk, namun masih asri khas pulau terpencil. Pak Hengki dan keluarganya dengan sukacita  menyambut kami bak kedatangan pejabat ibukota yang sedang blusukan ke dalam kampung. seolah-olah pejabat gadungan itu sekedar mendata mana saja penduduk yang cacingan atau terkena kolera. Istri pak Hengki sibuk memasak untuk kami. Putranya yang bernama Yunus dan Yoris sibuk membantu menyiapkan kedatangan tamu ke kampung mereka. Boleh dibilang ketrampilan Yunus dan Yoris ibarat room boy profesional sebuah hotel berbintang. Mereka sibuk mempersiapkan remeh temeh kedatangan rombongan tamu. Kami jadi tidak enak hati menerima keramahtamahan yang benar-benar tulus itu.

Suasana Pulau Friwen
###




Hari ketiga, pagi hari kami disuguhi pisang dan talas goreng untuk sarapan beserta teh manis. Setelah itu kami menuju homestay milik pak Hengki. Ternyata yang dimaksud pulau Mansoear kemarin, bukanlah pulau besar yang saya liat melalui GPS. Melainkan sebuah pulau kecil didekat Mansoear yang bernama pulau Kordiris. Homestay pak Hengki terletak di pulau Kordiris, bernama Karui Rim, yang berarti lima batu. Memang ada lima batu karang besar bertengger di dekat pulau Kordiris. Disini hanya ada dua homestay, Karui Rim milik pak Hengki dan satu lagi milik kerabatnya yang sudah disewa oleh turis asing. Karui Rim sungguh menyenangkan, dengan dinding terbuat dari daun pandan, siku-siku rumah dari kayu, dan beratapkan rumbia.

Karui Rim homestay, berarti Lima Batu


Saya senang sekali akan tinggal di tempat ini untuk beberapa hari ke depan. Listrik tidak ada, hanya generator pembangkit listrik berukuran kecil yang siap membantu penerangan hingga tengah malam. Lewat daripada itu, menggunakan lilin. Oh, indah sekali berasa punya pulau pribadi.

Tempat ngobrol, ngaso, makan dipinggir pantai
Hari ini kami akan mengunjungi Yambesar, spot snorkeling, karena memang kami penggila snorkeling activity. Kami beruntung hari itu melihat seekor lumba-lumba yang tiba tiba loncat, meski hanya dari kejauhan. Dari Yambesar, pak Hengki membawa kami ke Karwewer. Hari itu Yunus menemani bapaknya dan bertugas sebagai kenek kapal. Perairan di Karwewer sungguh tenang sekali, dengan batu karang di kanan kiri. Kami masuk ke sebuah cekungan di Karwewer dan langsung disuguhi tontonan para bayi hiu yang melesat-lesat dibawah perahu. Kami berharap melihat induknya. Harap-harap cemas. Tapi sang induk tidak tampak. Batu karang di Karwewer banyak yang terkikis air laut sehingga membentuk gua-gua kecil.

Baby shark, kemana induknya?

Dari Karwewer kami melanjutkan ke pulau Meos Pun. Hari menjelang sore, di Meos Pun kami berencana melihat matahari tenggelam dan mengunjungi gua kelelawar. Agak ribet untuk masuk ke gua kelelawar ini, karena kami harus membungkuk bahkan merayap di bibir pantai untuk melihat para kelelawar yang bergantungan didalam gua. Setelah matahari terbenam, kami kembali ke homestay. Disana istri pak Hengki sudah menyiapkan makan malam. Sekeluarga itu pun pamit untuk merayakan Natal, malam itu malam Natal dan mereka akan beribadah. Kami ditinggal, dibekali lilin jika penerangan generator padam tengah malam nanti.


Laguna Karwewer

###



Hari keempat kami dapat hadiah Natal dari keluarga pak Hengki. Seekor ikan tenggiri besar hasil tangkapan. Tak berapa lama ikan itu berakhir menjadi masakan ikan saos tomat.


Barracuda, bukan deng Ikan tenggiri



Pagi ini tempat yang akan kami kunjungi bernama desa Arborek. Desa ini merupakan desa wisata di Raja Ampat. Kami sempatkan beli bahan bakar untuk kapal karena akan seharian penuh berkeliling Raja Ampat.



Anak-anak desa Arborek
Anak ingusan (dalam arti sebenarnya)
Tidak jauh dari desa Arborek ada spot untuk snorkeling dimana komunitas ikan Pari (Manta) hidup damai berdampingan. Di tempat yang lebih dikenal dengan Manta Ray Point itu kami snorkeling sepuas-puasnya. Yang paling bersemangat adalah Adhi begitu dia melihat rombongan ikan Pari, langsung terjun seolah bertemu keluarga jauh yang lama tidak berjumpa. Terumbu karang di Manta Ray Point masih sangat baik dan airnya jernih macam air mineral.

Kolam pribadi saya di Manta Ray Point - Raja Ampat


Sorenya kami mengunjungi desa Sawingrai. Terumbu karang di dermaga Sawingrai ini sungguh sangat cantik. 



Dermaga Sawingrai


Arus Sawingrai agak kencang tapi tidak mengurangi minat untuk lompat-lompatan di dermaga Sawingrai. Begitu nyemplung, terumbu karang dibawah dan ikan warna warni menyambut. Apalagi kalau bawa makanan ikan, pasti langsung diserbu.

Eye-gasm bawah laut


Ikannya lucu lucu. Betah, betah rasanya. Kalau saya bisa bernafas dalam air pasti sudah menginap di terumbu situ. Untuk memberi makan ikan di desa Sawingrai, diperlukan sumbangan sukarela sekitar 20-25 ribu per orang. Banyak juga turis asing dan domestik yang berebutan memberi makan di Sawingrai. Jika kawan ke Raja Ampat harus mampir ke desa cantik ini.


Turis sibuk memberi makan ikan
Puas bermain-main dengan ikan, kami kembali ke Homestay. Beristirahat. Malamnya kami diundang oleh keluarga pak Hengki untuk ke Pulau Friwen. Mereka merayakan Natal, dan malamnya setelah mereka beribadah akan digelar pesta kampung semalam suntuk yang diiringi alat musik Tambur dan Suling. Party kita!


###




Hari kelima adalah hari terakhir ber-island hopping di Raja Ampat. bisa dibilang hari ini adalah hari yang dinantikan karena kami akan mengunjungi Holgam dan Selat Kabui. Ibarat film, ini klimaks perjalanan kami mengunjungi Raja Ampat. Sebenarnya ada tempat utama yang konon keren bukan buatan yaitu di Wayag. Namun saat itu Wayag sedang ada konflik internal dan tidak diperbolehkan bagi turis untuk mengunjungi Wayag. Selain itu jarak homestay kami ke Wayag sangat jauh dan butuh bahan bakar ekstra untuk menuju kesana. Sekitar 8-11 juta untuk sewa kapal, tergantung negosiasi. Saya sisakan Wayag untuk lain kali ke Raja Ampat.




Setelah sarapan kami mengunjungi Holgam yang berjarak sekitar dua jam perjalanan. Pelayaran ini dinahkodai Yunus sedangkan Yoris bertugas menunjuk arah. Begitu sampai sana, kami cuma bisa nganga (mulut terbuka alias mangap). Keren abis. Saya tidak tahu bagaimana menggambarkan keren versi ultimate. Jadi saya cuma bisa bilang nganga. Sumpah keren abis pemadangannya. Totol totol batu karang yang bermunculan dari dalam laut, ribuan tahun lamanya hingga dipenuhi pohon. Kanan kiri depan belakang. 



Bening bener dah

Untung kami membawa Yoris dan Yunus yang akrab dengan daerah ini. Jadi kami tidak tersesat di tengah Holgam. Yoris sejak kecil sudah sering ikut ayahnya, bahkan sampai hapal setiap senti kelokan-kelokan di Holgam. Kami dibawa ke gua kelelawar yang konon hanya Yoris dan ayahnya yang tahu. Secret place lah menurut Yoris. Kami hanya mengangguk-angguk takzim. 

Kami minta ke Yoris agar diantar ke batu karang yang bisa didaki. Sehingga bisa ambil gambar Holgam dari atas. Benar saja, ada teluk dengan air tenang jernih, semoga tidak ada hiu-nya. Kami terjun berenang-renang kegirangan. Oh indahnya hidup ini. 

Gugusan Karang Holgam 

Setelah itu kami merayap naik ke atas karang sampai kaki berdarah-darah karena terantuk tajamnya batu karang. Demi ya, demi foto. Biarlah norak, biarlah narsis, toh kami bayar dengan darah. Jadi silahkan katakan kami udik, karena memang kami orang kota yang udik, kami baru melihat keindahan pemandangan nun di Papua Barat sana. Jadi semua sah.


Kaki berdarah darah, demi pose di atas Holgam
Puas melihat Holgam, kami mulai lapar. Nahkoda membawa kami menuju Selat Kabui. Dalam perjalanan kesana, kami mencari pulau tak berpenghuni untuk sekedar bersantap siang. Jauh di antah berantah sana, kami temukan sebuah pantai kosong. Bersih dan sepi. Dibawah pohon, kami gelar makan siang kami. Saya pikir itu adalah makan siang terbaik yang pernah saya rasakan. Hanya nasi, mie goreng dan telur dadar. Tapi dengan pemandangan Raja Ampat kemanapun mata memandang. Semuanya jadi lezat bergizi. 

Pulau tempat kami makan siang disebut Tanjung Imambruk. Tidak ada siapa-siapa disini, hanya seekor anak kucing yang tiba-tiba datang dan ikut minta jatah makanan. Sepertinya kucing ini sudah kelaparan berhari-hari. Entah bagaimana dia bisa sampai kesini. Kami beri makan apa yang kami punya. Si kucing senang dan seolah minta diajak berlayar. Kami pun setuju, karena kasihan dia sendirian. Lebih baik jika si kucing tinggal di homestay, paling tidak ada sisa makanan yang bisa dimakannya. Berlayarlah kami dengan anggota baru di perahu menuju Kabui.


Otewe to Selat Kabui
Mendekati kabui cuaca menjadi tidak bersahabat, mendung menggantung seolah siap tumpah menyiram Raja Ampat. Kami kembali super nganga ketika tiba di Teluk Kabui. Perairan bening dengan gugusan batu karang yang lebih indah dari Holgam. Ditambah kesan mistis, semuanya begitu tenang. Tenang menghanyutkan.


Mendung menyergap di Teluk Kabui
Kanan kiri semuanya gugusan batu karang menjulang. Sungguh indah tak terperikan. Diujung Selat Kabui ada semacam teluk. Perahu kami bersandar disalah satu karangnya. Teman baru kami, si kucing, mulai resah. Dia bergelung-gelung di kaki saya seolah mengatakan akan ada bahaya. Tiba tiba hujan mulai turun, deras. Laut yang awalnya tenang mulai bergelombang. Kami merapat dibalik dedaunan, menambatkan perahu di akar semak belukar. Berharap badai segera berlalu. 

Teman baru kami, si kucing, gelisah bukan kepalang karena takut air. Kami masukkan dia ke dalam dry bag. Hujan makin deras. Jarak pandang makin pendar. Nahkoda mengambil keputusan untuk berlayar mencari tempat yang lebih aman.

Ada sebuah homestay didekat situ yang mungkin bisa kami tumpangi. Terombang ambinglah kami melawan badai di Selat Kabui. Mesin motor 40PK melawan hebatnya badai. Bersyukur homestay yang dituju tidak terlalu jauh dan disana sudah ada beberapa perahu yang berteduh. Kami bergabung dengan mereka, menunggu hujan reda. Kami selamat.



Kabui
Sewaktu berteduh ada seorang penduduk lokal, Om San namanya, yang menanyakan kepada kami, mengapa berlayar membawa kucing. Saya jawab kasihan karena kucing di Tanjung Imambruk sendirian, kelaparan. Jadi kami bawa supaya bisa tinggal di homestay. Paling tidak dia bisa mengais makanan dari sisa orang yang berkunjung. 

Om San pun bersabda bahwa ada semacam kepercayaan, jika membawa hewan ke Teluk Kabui bisa mengakibatkan celaka. Dia percaya akibat kami membawa kucing, munculah badai tadi. Saya percaya tidak percaya atas omongan Om San. Namun sejak kucing itu berada di daratan, anehnya langit kembali cerah. Hujan mereda. Karena takut, kami putuskan untuk meninggalkan kucing itu bersama Om San. Tapi dia bilang, kami harus menyelesaikan apa yang kami mulai. Lagipula niat kami baik ingin menyelamatkan kucing itu sehingga tidak mati kelaparan. 

Om San mengingatkan diperjalanan nanti akan ada hujan lagi, tapi terus saja dan jangan berhenti sampai di homestay. Sekitar setengah jam perjalanan pulang, hujan mulai turun kembali. Deras makin deras. Mesin perahu motor makin meraung, seolah berkejaran dengan badai. Kami basah kuyup tapi sudah tak perduli lagi. Hanya berdoa agar cepat sampai di Homestay.

Badai pasti berlalu
Mendekati homestay, ajaib, cuaca kembali berangsur cerah. Seolah badai berlalu begitu saja. Kami merapat di pantai dan melepaskan kucing ke daratan. Dia linglung sejenak. Cuaca kembali benar-benar cerah. Saya tidak tahu harus komentar apa atas omongan Om San. Saya anggap suatu kebetulan tapi terlalu nyata. Kucing kecil itu kami beri nama Badai.


Mumpung masih sore dan cuaca membaik, kami pergi lagi mencari spot snorkeling terakhir. Tujuan kami adalah perairan di Friwen Mondai. Terumbu karang disini benar benar cantik.

Lucu-lucu, dipiara bisa gak ya
Bahkan dari atas kapal pun, terumbu karang dibawah kami menggoda untuk diselami. 


Dive dive dive
Saya lihat ada penyu berenang di dekat kapal, ah sungguh sangat indah. Semua terumbu karang di Raja Ampat bagus, tidak perlu diragukan lagi.



Kenyal-kenyal kalau disentuh
Tapi saya paling suka terumbu karang di Sawingrai dan di Friwen Mondai ini. Itulah kali terakhir saya menyelam di Raja Ampat, scuba diving tanpa tabung oksigen.

Spesies langka
Setelahnya saya kembali ke homestay dan packing untuk perjalanan selanjutnya esok hari. Benar-benar puas selama tinggal di Raja Ampat. Pasti saya akan kembali lagi.



###


Hari keenam kami dijemput pagi sekali oleh Yunus. Dia bertugas mengantarkan saya ke Waisai. Mengejar kapal pagi menuju Sorong. Teman-teman saya yang lain masih betah di Raja Ampat. Mereka kembali ke Jakarta esok harinya. Saya harus menuju Jakarta lebih dulu karena perjalanan saya masih panjang, menuju tujuan akhir Labuan Bajo. Saya ingin berlayar di laut Flores. Saya ingin terombang-ambing menuju Labuan Bajo.

Never say goodbye masbroh Yunus, Adhi, Findo, Nano
Kapal Waisai tujuan Sorong akan berangkat tepat pukul 09.00 WIT. Khusus di hari Jumat ada dua kali ferry menuju Sorong. Beda merek, tapi operatornya sama. Saya akan menumpang N.V. Marina Ekspress. Sampai jumpa lagi Raja Ampat.



See ya Raja Ampat, perjalanan masih panjang.
Berpisah dari teman-teman Raja Ampat, saya melanjutkan perjalanan seorang diri. Rute stakato Waisai ke Sorong, menuju Bandara DEO. Lagi-lagi pesawat Garuda terlambat terbang. Bahkan kali ini hingga 3 jam lamanya. Pesawat yang harusnya lepas landas ke Ujung Pandang ada masalah, akibatnya pesawat lanjutan saya dari Ujung Pandang ke Jakarta juga mundur. Padahal malam nanti, saya ada penerbangan Jakarta ke Surabaya pukul 20.20 WIB dengan Merpati. Saya terlambat!

Mendarat di Jakarta, akhirnya sekitar pukul 20.30 WIB. Sia-sia lah pesawat Merpati saya. Dalam pada itu, saya melaporkannya ke petugas Garuda. Ternyata Dewi Fortuna masih menunggu di Soekarno Hatta dalam wujud Customer Service Officer Garuda, dia memberi tiket pengganti keterlambatan untuk menuju Surabaya jam 23.00 WIB. For Free. Sebagai kompensasi keterlambatan. Saya girang. Girang gemilang, hingga mimisan. Labuan Bajo, bersiaplah!

###


Hari ketujuh perjalanan, saya mulai pada dini hari. Jarum panjang jam baru saja melewati angka 12 ketika saya mendarat di Bandara Juanda Surabaya. Tengah malam saya keluar Bandara, sudah banyak calo dan tukang ojek yang menunggu. Profesi mereka ini tidak kalah dengan Dokter Jaga 24 jam. Dedikasi mereka sangat tinggi sekali. Terjadilah tawar menawar jasa angkut menuju terminal Bungurasih atau Purbaya, disepakati angka 30 ribu. Saya lompat ke motor, ngojek tengah malam. 

Setibanya di terminal Purbaya, saya menumpang bus apa saja menuju Jember. Bus Borobudur namanya, penuh sesak. Bus ekonomi tanpa AC. Konfigurasi kursi 2-3. Dua di kiri, tiga di kanan. Begitu saya naik, ada sepasang bule yang melirik saya. Mereka melirik ransel saya -lebih tepatnya- dan mengira kami satu bangsa. Sama-sama bangsa tukang jalan yang kemalaman. Dasar bule mau enaknya sendiri, mereka beli 3 seat untuk ditempati berdua, ngeselin. Saya dengar, tujuan mereka sama dengan saya. ke Jember. 

Bus Borobudur berlari macam kuda larat di tengah malam. Dalam lima jam, kami tiba di Jember. Hari sudah terang, saya turun dan ganti ojek menuju desa Ambulu. Desa ini adalah kampung halaman orang tua saya. Terletak sekitar 25km ke selatan dari kota Jember. Mendiang ibu saya dimakamkan di Ambulu. Bersua sejenak di pusara ibu. Sekedar setor muka. Hi mom what's up!


Gorjesssss, and its just a stone throw from my place in Ambulu


Ambulu punya pantai berpasir putih di pesisir selatan dan deretan gunung yang mengepung desa. Sesekali bisa naik keatas gunung atau sekedar leyeh-leyeh ke pantai yang jaraknya hanya sepelemparan kolor dari rumah leluhur saya. Sangat cantik.


Kopi Mbok Lowo, dikaki gunung Watu Pecah - Ambulu

Kopi Ambulu amat sangat lezat. Penduduk Ambulu gemar sekali ke warung kopi. Seharian ini saya full leyeh-leyeh, recharge energi dan menyiapkan untuk perjalanan esok hari. I love Ambulu, my hometown.

###


Hari kedelapan mendapatkan nasi pecel sebagai menu sarapan. Masih di Ambulu. Nasi pecel kampung seharga 3000 perak itu luar biasa lezat, dibungkus daun pisang. Setelah sarapan, kembali saya ngojek ke Jember. Hari ini saya akan naik bus Gunung Harta menuju pulau Bali. Normalnya ditempuh dalam waktu 8 jam perjalanan Jember ke Denpasar. Sudah termasuk penyebrangan ferry dari Ketapang di Banyuwangi menuju Gilimanuk. 

Kenyataannya animo masyarakat merayakan tahun baru di Bali lumayan besar. Akibatnya macet, dan perjalanan makin lama. Hampir 12 jam lamanya, barulah saya sampai di Terminal Ubung di Denpasar. Perjalanan kali ini, saya hobby sekali ngojek. Malasnya adalah tawar menawar dengan si tukang ojek. Terlebih lagi di terminal Ubung ini, mereka jual mahal dengan berazaskan mau tahun baru. Apa urusannya tarif ojek dengan tahun baru. Setelah penawaran sengit dengan beberapa tukang ojek, saya dapat harga 50 ribu untuk sekali jalan dari terminal Ubung ke bandara Ngurah Rai.

Ada kejadian kocak sewaktu menyebrang dari Ketapang ke Gilimanuk. Efek pengeboman di Bali tempo hari, saya baru tahu kalau masuk ke pulau Bali, maka penumpang ferry harus dicek identitasnya. Dalam hal ini cek KTP. Ceritanya ada mba-mba cantik yang sedang antri untuk dicek KTP oleh petugas. Si mba-mba ini berdiri tepat didepan saya.

Petugas: "Mana KTP nya?"
Mba-mba: "ini pak"
Petugas (Sok sok ngecek) terus bilang pake logat madura: "Apa ini dek, KTP sampeyan kok gak ada namanya. KTP nya mati lagi dek"
Mba-mba: "Ah bapak bisa aja, buruan dong panas nih"  (logat manja karena tau sedang digodain)
Petugas: "Ini KTP sampeyan mati"
Mba-mba: "Mati apa sih pak?" (khawatir...)
Petugas: "Yah mati, lah KTP gak bernapas gini kan mati"


Saya hanya cekikikan mengingat percakapan lintas provinsi tadi siang. Lumayan ada hiburan selama saya menginap di Mushola bandara Ngurah Rai. Menunggu penerbangan ke Mataram-Lombok besok pagi.

###


Hari Kesembilan kriyep-kriyep di lantai mushola bandara Ngurah Rai. Nyantri semaleman menaikan iman dan takwa. Saya merasa naif bener kalau pas lagi bermalam di mushola. Kayak giliran butuh aja, baru inget ama yang diatas. giliran hura-hura lupa dah. Semoga segera dapet hidayah. #Curhat.

Setelah sholat shubuh, -ceileh alim-, langsung menuju counter check in WingsAir. Penerbangan pertama paling pagi Denpasar ke Mataram. Hanya setengah jam saja, tapi delay juga. Mantap ya penerbangan Indonesia, jarang yang tepat waktu. Biar gimana pun metode transportasi dengan pesawat, bisa nge-hemat waktu. Kalau pakai acara naik ferry, total perjalanan bisa 10 jam baru tiba di Lombok. Lagipula ini pesawat promo, 300 ribu langsung sampai.

Endebre-endebre, sampai di Lombok Praya Airport sekitar jam 9.00 WITA. langsung menuju Senggigi naik bus Damri. Ini pantai cakep bener dah, sepi pula. Saya nyangkut di Happy cafe di Senggigi, yang mana mas-mas nya lagi beberes bekas party semalam. Ngobrol luntang lantung sama orang yang ada disitu. Bertanya kalau ke Labuan Bajo lebih baik naik apa.

Meminjam kata-kata Imam Syafii "Merantaulah, nanti kau akan dapat pengganti kerabat dan teman" kira-kira begitu, eh tanpa disangka ketemu lagi travelmates menuju Labuan Bajo.

Saya kenalkan teman perjalanan saya yang baru. Ada 3 orang. Nola, Nisa, dan Ibnu. Mereka juga baru saja mendarat dari Jakarta. Trip mereka ke Labuan Bajo terancam batal, perkara badai. Syahbandar di Labuan Bajo mengirim pesan ke travel agent tempat mereka pesan tour, bahwa ombak sedang tinggi. Jadi sailing tour mereka dibatalkan. Mereka kesal. Terlanjur update status dimana-mana bahwa akan menginjakkan kaki ke Pulau Komodo. 

Nola, Ibnu, Nisa
Nasib mereka setali tiga uang dengan saya. Bersekutu lah kami berempat. Berikrar menuju Labuan Bajo. Apapun tantangannya. Badai, ombak harus ditembus. Tekad kami sudah bulat. Sebulat donat.

Berangkatlah keempat anak nekat itu ke Labuan Bajo. Dari Senggigi menumpang bus ke terminal Mataram. Disana banyak bus dan calo -pastinya-, menawarkan tiket bus menuju Labuan Bajo. Kami ingat betul tarif bus yang akan kami tumpangi sebesar 210 ribu per kepala, per tanggal 30 Desember 2013. Pasalnya di dalam bus kami terjadi keributan antara seorang penumpang dan calo. Sang penumpang kurang bayar, bersikukuh tarifnya bukan 210 ribu. Tapi si calo tidak mau tahu. Harus bayar 210 ribu. Umpatan, makian, berdesing di dalam bus. Kami melongo. Mana yang benar ya. Moral dari kejadian itu, jika naik bus dari Mataram ke kota Bima di Sumbawa, bayarlah sesuai tarif.


Tidak perlu bertengkar, bayarlah sesuai tarif

Surabaya Indah, nama bus kami. Meluncur meninggalkan Mataram menuju Lombok Timur. Tujuannya pelabuhan Kayangan. Surabaya Indah masuk ke dalam Kapal Motor Penumpang (KMP) Munawar. Pelayaran KMP Munawar menuju Poto Tano di Sumbawa Barat. Kami beruntung, waktu itu bukan pelayaran pamungkas KMP Munawar. Sebab 4 hari kemudian, pada tanggal 3 Januari 2014, hari nahas bagi KMP Munawar. Dia karam ke dasar laut Sumbawa. Tamat kalimat. 

Perjalanan menuju Poto Tano sekitar dua jam saja. Lepas magrib KMP Munawar merapat di Poto Tano, memuntahkan isi perutnya termasuk melontarkan Surabaya Indah. Kami melanjutkan perjalanan menuju kota Bima.


###


Hari kesepuluh, sebelum subuh, kami tiba di terminal kota Bima. Dingin pagi menusuk. Malas rasanya harus berganti bus. Kami harus menumpang bus lebih kecil, bus Villa Putra. Tarif bus kota Bima ke pelabuhan Sape dipungut 25 ribu dengan lama perjalanan dua jam. Ngantuk sangat pagi itu. Padahal pemandangan pegunungan yang dilalui bus Villa Putra dari Bima ke Sape cukup bagus. Mata lebih memilih mengatup, sesekali terjaga, lebih banyak tidurnya. 


Terminal kota Bima


Pagi jam 07.00 WITA kami tiba di pelabuhan Sape. Ramai. Karena tidak ada kapal ferry yang siap sedia menuju Labuan Bajo. Ferry pun ikut delay karena ombak besar. Kami menunggu. Terus menunggu. Tak lupa saya menumpang mandi. Sudah dua hari tidak mandi, berasa bau kecut. 



Beruntung ada KMP Cakalang II yang berlabuh di Sape. Kabarnya kapal ini akan segera bongkar muatan sejenak kemudian bertolak kembali ke Labuan Bajo. Kami mendapatkan tiket ferry seharga 54 ribu dan langsung mengantri masuk ke kapal. Takut tertinggal, bisa runyam.



Pemeran Jack Dawson di rute Sape to Labuan Bajo, konon kapal ini lebih canggih dari Titanic


KMP Cakalang II akan berlayar selama delapan jam perjalanan. Mengantisipasi mabuk, kami masuk ke ruang penumpang kelas bisnis. Didalam ruangan itu tersedia fasilitas AC dan televisi. Kursinya disediakan lebih nyaman. Ada rupa ada harga. Tidak lama petugas datang, meminta uang tambahan kelas bisnis sebesar 30 ribu per kepala. Tanpa karcis, tanpa bukti pembayaran yang sah. Bahkan kami baru sadar, bahwa salah seorang teman saya memiliki tiket untuk kategori anak-anak. Tapi tidak masalah. Hitam-putih negeri saya tercinta.



Kelas Bisnis, ada harga ada rupa


Hari ini adalah hari terakhir di tahun 2013. Kapal kami mengakhiri perjalanan tepat jam 5 sore di Labuan Bajo. Kami girang. Sampai dengan selamat. Tinggal mencari tempat tinggal untuk bermalam. 

###



Fian namanya, masih muda 21 tahun, pemuda NTT yang bekerja di Labuan Bajo. Kami berkenalan ketika dia menyambut kami di Gardena Hotel. Tidak ada yang spesial dari petugas resepsionis sebuah hotel yang menawarkan kami sebuah kamar untuk empat orang dengan tari 270 ribu per malam. Namun tunggu dulu kawan, sebelum dia berkisah tentang hidupnya kepada kami. 



Fian merantau ke Labuan Bajo setelah tamat SMA, empat tahun lalu. Anak yatim dari sebuah desa antara Labuan Bajo dan Ruteng. Sejak ayahnya mangkat, seperti cerita biasa, dia menjadi tulang punggung keluarga. Udik benar dia kala itu, hanya tamatan SMA. Dia ingin membantu menghidupi Ibu dan dua orang adiknya, bekerjalah Fian remaja di hotel Gardena. Sang pemilik hotel rupanya melihat potensi dan semangat belajar Fian, dipercayakanlah jabatan elok sebagai Resepsionis Hotel kepadanya. Bukan main, kemampuan Bahasa Inggrisnya berkembang cepat. Mayoritas tamu hotel di Labuan Bajo adalah bule. English is a must. Kami melihat semangat belajar dan pantang menyerah dari Fian. Hingga terpaksa kami doktrin Fian agar bisa menggunakan internet. Kami ancam dia dalam dua tahun ke depan, ketika kami kembali ke Labuan Bajo, dia harus bisa melayani reservasi kami secara online. Iseng betul.



Fian dan kawan-kawan


Malam ini malam tahun baru. Bunyi petasan dan Kembang api di langit Labuan Bajo. Selamat Tahun Baru 2014.


###

Hari kesebelas perjalanan saya ini merupakan hari pertama di tahun baru 2014. Selamat Tahun Baru Dunia. Bermalam di Gardena Hotel, sekamar berempat dapat sarapan yang luar biasa. Bukan rasanya, tapi pemandangannya. Hotel kami berada disemacam kontur tanah yang menyerupai lereng, jadi Labuan Bajo semacam lukisan besar ketika pintu kamar dibuka. Silahkan bertandang ke Labuan Bajo. Dijamin ngencess.


First breakfast in 2014


Setelah sarapan yang sederhana namun spektakuler, kami ikut program wisata 2D/1N keliling laut Flores. Sailing trip plus bermalam dikapal. Operator yang menyajikan paket sejenis menjamur di Labuan Bajo. Kami sarankan jika ingin mengikuti trip macam ini, pesan lewat internet. On the spot bisa juga sih. Harga paket yang kami ambil 4,5jt rupiah dan di share ber-4. Skenarionya kami akan makan, tinggal, numpang hidup dan bermalam di perahu.



Penampakan di Laut Flores awal 2014


Sailing trip dimulai dengan mengunjungi Pulau Rintja. Selama berlayar dijamin tidak akan bosan karena pemandangan laut Flores benar-benar menakjubkan. Saya hanya senyum-senyum sendiri, bukan gila, tapi bahagia. Sungguh bahagia. Gila dan bahagia, beda tipis.



Sepanjang mata memandang, dimanjakan bukit-bukit begini


Pulau Rintja dikenal sebagai salah satu pulau yang juga dihuni pulau Komodo. Konon di pulau ini, Komodo-nya lebih agresif daripada Komodo yang ada di Pulau Komodo. Memang jumlah Komodo di pulau Rintja lebih sedikit, tapi galaknya lebih banyak.



King of Komodo


Pulau Rintja a.k.a. Loh Buaya mempunyai teluk sebagai tempat masuk kapal-kapal yang berlabuh di dermaganya. Dari dermaga Loh Buaya ini, kami sudah harus ditemani oleh Jagawana atau Ranger. Mereka ini pawang-pawang Komodo yang selalu membawa tongkat dengan ujung bercabang. Berfungsi untuk menghalau Komodo yang genit. 



Komodo sangat sensitif terhadap bau darah. Jadi bagi wanita yang sedang datang bulan, tidak disarankan bertamasya ke pulau Rintja atau pulau Komodo. Kalau nekat, tidak apa-apa juga, asal selalu didampingi Jagawana. Resiko dimakan Komodo, ditanggung sendiri.



Warnanya saru ama tanah


Setelah hal remeh-temeh administrasi, kami ditemani Jagawana untuk bersiap trekking ke atas bukit di pulau Rintja. Selama perjalanan, Komodo bertebaran dimana-mana. Tetap waspada.



Macam anjing penjaga rumah, mendingan gak usah keluar rumah


Pendakian ke bukit di pulau Rintja tengah hari bolong memang sangat melelahkan. Panas terik dan ketar-ketir kalau ada Komodo muncul dari balik semak. Semuanya terbayar ketika sampai di puncak bukit. Sujud syukur bisa liat pemandangan menakjubkan. Ah kawan, silahkan buktikan sendiri.



Eye-gasm liat pemandangan kayak gini


Pulau Rintja masuk dalam daftar tempat yang saya rekomendasikan untuk dikunjungi. Sekilas pemandangan dari atas bukit di Rintja, mirip dengan ketika menyambangi komplek Gunung Krakatau. Ngangaaaaaaaa. keren parah!



Sumpah ini di Indonesia. Negara saya!


Setelah berlelah-lelah di pulau Rintja, kami kembali ke kapal untuk makan siang dan melanjutkan pelayaran di laut Flores. Menu makan siang kami spesial dengan potongan nanas segar. Manis. Semanis hidup.


Makanan yang dimasak diatas kapal. Makan ini sambil berlayar. Heaven!


Tujuan selanjutnya adalah pantai berwarna merah muda alias Pink Beach. Pecahan koral yang berwana merah berbaur dengan pasir pantai, maka jadilah pantai berwarna kemerahan itu. Terumbu karang di Pink Beach masih sangat baik dan cukup bagus. Kami harus berenang dari tengah laut untuk sampai ke daratan. Kapal kami tidak bisa merapat ke bibir pantai karena bisa merusak terumbu karang. Alhamdulilah saya adalah atlet renang antar RT, jadi tidak masalah. Jika keliling Indonesia dan tidak bisa renang, akan amat sangat merugi. Jadi mulai sekarang, -bagi kawan yang tidak bisa renang-, diharapkan mulai ambil les renang selain les biola.



Pink Beach dan ini sekali lagi di Indonesia


Lepas sore, kami menuju Pulau Komodo. Kapal merapat di pulau Komodo, menyiapkan malam dengan menata tempat tidur di kapal. Sementara pak Nahkoda memasakkan makan malam dibantu sang asisten.



Rumah kami di kapal. Nice isn't it?


Langit Flores mendung. Hujan deras. Kami meringkuk di kapal.


###

Hari keduabelas mentari kembali cerah di Kampung Komodo. Jangkar ditarik dan kami siap berlayar. Sarapan kami cukup dengan pisang goreng dan teh manis hangat. Kami berlayar menuju Loh Liang di Pulau Komodo. Disanalah markas besar Komodo Republik Indonesia berada.


Mabes Komodo RI,  entrance pose


Konon, Komodo yang ada di Pulau Komodo adalah manusia pada zaman dahulu kala. Mereka bertransformasi menjadi Komodo. Begitulah hikayat rakyat yang kami dengar dari cerita asisten kapal. Uniknya, orang pulau Komodo bisa hidup berdampingan dengan Komodo sejak ribuan tahun lalu. Desas-desusnya Komodo tidak menyerang orang yang mempunyai darah murni Pulau Komodo, kecuali para muggle. Mungkin karena kesamaan genetik sejak zaman dahulu. Ah, saya tidak mau ambil pusing urusan darah murni. Cukup satu Komodo yang bikin saya pusing di Jakarta. Si Komo, kalau lewat bikin macet.



Dermaga Taman Nasional Komodo


Pulau Komodo masuk kedalam situs warisan dunia. Keberadaanya termasyhur keseluruh jagat. Wisatawan bule, menurut pengamatan saya, lebih banyak daripada wisatawan domestik. Nasib oh nasib.



Prestasi saya versi paling dekat dengan Komodo


Trekking di Pulau Komodo lebih lama dan panjang daripada di Pulau Rintja. Kami bebas pilih jalur trekking, ada pendek, menengah, atau panjang. Menurut hemat kami, yang mana masih muda dan penuh energi, kami mencoba jalur paling panjang. Tetap dipandu oleh seorang Jagawana yang aseli orang Pulau Komodo, berharap keamanan kami lebih terjamin. Pasalnya grup kami, -yang mulanya hanya seorang yang datang bulan-, sekarang ada dua yang datang bulan. Efeknya, beberapa kali Komodo mendongakkan kepala ketika kami lewat. 



Si Jumbo lagi mangap


Trekking di pulau Komodo ternyata melelahkan. Medan yang berlumpur bekas hujan semalam, ditambah jalur panjang yang kami pilih membuat acara olahraga kami berujung kelaparan.



Makan siang di kapal terasa cepat saja. Masih ada beberapa pulau yang akan kami singgahi. Pulau Kanawa dan Pulau Bidadari. Kami rehat sejenak disana dan snorkeling (lagi). Jika nanti saya kembali ke Jakarta, niscaya tanning kulit akan bertahan lama. Tangan kanan legam Raja Ampat, dan tangan kiri hitam Flores. Sungguh eksotis.



Puas berlayar, kami kembali ke Labuan Bajo. Program trip berakhir. Bermalam lagi di Gardena. 


###

Hari ketigabelas saya berpisah dengan para Labuan Bajoers. Ketiga teman saya harus kembali ke Mataram, menumpang ferry pagi. Saya antarkan mereka ke pelabuhan. Kami akan bertemu lagi diperjalanan mendatang. Entah dimana.


Saya kembali menjadi solo kresecker. Maka saya putuskan hari itu terbang ke Denpasar. Kebetulan ada promo Garuda, potong poin GFF. Lumayan gratis sampai ke Denpasar walau delay. Perkara keterlambatan kali ini adalah Garuda membuka penerbangan perdana dari Labuan Bajo ke Tambolaka di pulau Sumba. Tambolaka, terdengar menarik di telinga saya, bersumpahlah saya didepan patung Komodo Bandara Labuan Bajo untuk mengunjungi Indonesia lebih timur lagi suatu hari nanti.



Saya akan berkunjung lagi nanti :)


Ini adalah kali pertama saya terbang dengan tipe pesawat ATR baling-baling milik Garuda. Penerbangan ini spesial, karena didalamnya ada Maudy Koesnaedy yang mendampingi suaminya Erick Meijer. Duduk didepan saya. Selebrita, penting sekali dimanapun berada. Suami Maudy ternyata Direktur Pemasaran di maskapai yang saya tumpangi, saya baru tahu. Penting banget ya untuk saya jelaskan. Hahaha, biarlah, biar saja saya norak sekalian, toh penerbangan ini gratis.



Free flight Labuan Bajo to Denpasar


Mendarat di Denpasar, ada langganan sewa motor terpercaya yang sudah stand by di bandara. Saya segera menuju hostel. Saya jatuh sakit. Padahal saya berharap jatuh cinta.


###

Hari keempatbelas kondisi badan saya membaik. Jika traveling, boleh sakit, tapi jangan terlalu lama. Apalagi ini di pulau Dewata. Hari itu seharian kegiatan saya hanya leyeh-leyeh dan pindah dari satu cafe ke cafe lain. Makan, membaca, melihat orang-orang lalu-lalang di jalan, ketiduran, ongkang-ongkang kaki. Berasa jutawan tak perlu kerja.


Semakin sore semakin sehat, dipertemukanlah saya dengan teman lama Luky dan Ita. Rombongan party goers dengan falsafah hidup work hard play harder. Merantaulah kami yang mulanya dari cafe ke cafe, pindah ke restoran dan berakhir di kelab-kelab malam. Saya tidak suka hingar bingar, saya lebih suka lari ke pantai belok ke hutan. Walau tidak sampai memecahkan gelas dan mengaduh sampai gaduh, tetap kalah juga dengan bujuk rayu dua sahabat saya. Perkara joget, dengan gerakan tangan banyakan menunjuk ke atas.



Party goers!


Berdalih malam minggu dan malam terakhir perjalanan panjang, jadi harus dirayakan semalam suntuk. Awalnya saya island hopping, tapi di Bali menjadi bar hopping. Entah energi dari mana, tapi ngikut saja. 


ajeb, ajeb, ajeb

###

Hari kelimabelas saya harus pulang ke Ibukota. Menumpang -lagi-lagi Garuda gratisan- menuju Surabaya. Poin GFF saya hanya tersisa dan cukup untuk ditukar hingga sampai Surabaya. Efek ajeb-ajeb semalam masih terasa dan saya belum pulas tidur. Jam 08.00 WITA ngebut ke Bandara karena sudah janji harus mengembalikan motor, dan harus siap untuk penerbangan jam 10.00 WITA. Badan ringsek rasanya.


Ternyata sampai di Bandara Ngurah Rai, kacau. Mati lampu. Kesal, meracaulah saya di media sosial. Sampai dirituit @HaloBali.


01 | Dari jam 08.00 WITA, listrik di Bandara Ngurah Rai padam. Ribuan orang screening bag dan check in manual.
02 | Antrian masuk ke bandara Bali membludak, membuncah, membahana. Bule-bule pada sewot. Gegara mati lampu mereka ilfil.
03 | Semua pesawat delay. Tanpa terkecuali. Penerbangan saya Garuda, dijadwalkan jam 10.00 WIB tiba di Surabaya. Lanjut Airasia. Walau gratisan.
04 | Pertama kalinya check-in manual, naik Garuda tanpa no seat. Bebas duduk dimana saja macam Kopaja.
05 | Kocak juga liatin bule-bule pada komplen berjamaah di Ngurah Rai. They said stupid system, crazy, f*ck, idi0t, mor0n.
06 | Bule-bule hari ini mudik ke kampungnya dengan cerita buruk dari Indonesia. Akibat listrik padam. Sedihnya.
07 | Saya taksir pengelola bandara belum bayar listrik, ternyata Power Outage. Tapi bule diujung sana menaksir bahwa listriknya dikorupsi. Masuk akal sih.
08 | Bule-bule makin sewot liat orang Indonesia yang tidak bisa antri. Rasanya pengen ngemplang pake papan surfing.

Saya cuma berharap agar delay makin lama, jadi bisa dapat kompensasi dari maskapai sesuai peraturan Menteri Perhubungan.


Penting buat penikmat jalan-jalan


Tiba di Surabaya masih ada sisa waktu untuk penerbangan lanjutan ke Jakarta. Bersyukur sekali dapat tiket Promo Airasia. Walau tidak nol rupiah, tapi tiket 200 ribuan di musim liburan seperti ini amat sangat berharga. 

9 kali take off dan 9 kali landing dalam 15 hari teakahir menggunakan tiket nyaris gratisan, rasanya jiwa raga saya kembali segar. Saya siap 100% untuk perjalanan selanjutnya.



@arkilos








Komentar

Posting Komentar

Komentar aja mumpung gratis