SUMPAH saya sakaw. Sudah lebih dari empat bulan tidak traveling keluar negeri, bikin stress juga. Saya pergi keluar negeri dengan tiket gratisan, jadi bukannya mau nyombong nih -mainnya ke luar negeri mulu-, tapi memang saya senang pergi gratisan. Anggap saya menang judi. Tidak perduli maskapainya apa, -selama ada kesempatan-, hajar bleh.
01| Jakarta-Kuala Lumpur, pesawat gratis;
02| Kuala Lumpur-Langkawi, pesawat gratis;
03| Langkawi-Kuala Lumpur, pesawat gratis;
04| Kuala Lumpur-Jakarta, pesawat gratis;
Asik kan. Semua flights dengan harga nol rupiah. Yes, I pay for nothing. Kalau airport tax mah
jangan dihitung,
semua orang juga harus bayar airport tax ketika
bepergian. Jaman dulu nih, naik
Airasia tidak pakai fuel surcharge,
tidak perlu bayar bagasi dan biaya endebre-endebre lainnya. Sekarang ada tambahan, tapi lumayan lah daripada lumanyun.
Baiklah, sebelum perjalanan ini dimulai, mari kita berdoa. Supaya selamat. Saya dapat firasat buruk
kalau trip ini bakalan gagal total. Pasalnya
begitu ada satu
saja flight yang delay, bisa merembet tuh ke belakangnya. Apalagi saya tipe penumpang yang paling malas beli asuransi,
modal Bismillah saja, maut ada di tangan Tuhan.
###
Niatnya mau ke airport naik bus
Damri. Biar murah. Anjriiit,
saya bangun kesiangan. Jadwal pesawat JKT-KUL adalah jam 14.00, paling tidak saya harus sudah
sampai di airport
jam 13.00. Sedangkan jam 11.00
masih di Depok, nyantay di rumah. Hancur dunia! Tipikal orang Indonesia, datang ke airport
mepet. Naik pesawat berasa naik bajaj.
Gedebak-gedebuk saya menuju stasiun kereta Depok Baru. Masih jamannya kereta Express kala itu, bukan Commuter Line yang sering
ngadat macam sekarang. Tiket kereta Express 9000 rupiah setara
dengan 1 USD dimasanya (tidak penting). Rencana
disusun di dalam kereta. Akan naik apakah saya ke airport. Beralasan takut telat, akhirnya, saya
putuskan bahwa saya akan turun di Stasiun Kota dan naik taksi ke airport. Padahal kresecker gembel macam saya ini harusnya pantang naik taksi. Tujuannya adalah demi
penghematan biaya traveling.
###
Kawan, saya ceritakan kegemaran saya yang lain. Tidak hanya gemar
mengumpulkan tatto, saya juga gemar mengumpulkan kartu
remi. Apalagi kartu-kartu remi dari
berbagai maskapai.
Sebabnya kalau beli kartu remi maskapai, yang jualan kartunya adalah mba-mba pramugari cakep. Aihh, belahan roknya
nyaris menyentuh ikat pinggang. Pasti percaya kalau ini bohong. Alasannya, coba perhatikan, roknya kan tidak
pake ikat
pinggang.
Tapi benar loh, -menurut hemat
saya-, bahwa mba-mba pramugari itu seakan sudah memperhitungkan secara presisi agar
belahan rok tetap menutupi daerah aman. Terutama ketika mereka melakukan
manuver gerakan jongkok, membungkuk, menyodorkan sesuatu, bahkan ketika harus
berjinjit demi menutup kompartemen bagasi sebelum lepas landas. Pokoknya saya senang mendapat kartu remi dari mba-mba
pramugari.
Menambah koleksi.
Jegrek, passpor di stempel. Setelah menembus beberapa gumpalan awan, saya mendarat di Low
Cost Carrier Terminal (LCCT) KL. lumayan sering sekali mengunjungi airport ini, karena gratisan tentunya. Masih ada waktu dua jam menunggu pesawat selanjutnya ke Langkawi. Rehat sejenak.
###
Nyaris malam ketika saya mendarat di Langkawi. Naik apa ya ke pusat
kota?
Ternyata di Langkawi tidak ada bus. Langkawi
adalah pulau kecil, -dan benar-benar turistik area-, maka yang tersedia hanya taksi atau sewa mobil
sekalian. Tidak terbayang kalau
saya harus menyewa mobil. Macam liburan sekampung harus menyewa mobil. Malu ah, sama bekpek. Lagipula, jika saya malam-malam begini menyewa mobil, mau jalan kemana. Sudah
gelap nanti
disatronin leak
(lopikir di Bali).
Sempet saya berfikir, apa saya sewa
mobil saja, lalu tidur di dalamnya kalau saya capek. Bisa tidur bebas dimana saya mau. Lumayan ngirit biaya hotel
dan bisa keliling seenaknya. Tapi kalau mobilnya mogok ditengah jalan apalagi ditengah hutan, bisa
berabe urusannya. Sekali lagi demi alasan safety
first, saya pilih naik taksi. Nextime kalau ada travelmate baru saya
mau menyewa
mobil di Langkawi, sekalian tidur di mobil sehingga tidak perlu sewa hotel. Ada yang mau tidak
ya?
Well, taksi dari
airport ke pusat kota hanya berjarak 10-15 menit, bayarnya sekitar 18-20 ringgit. 18 ringgit berarti jarak yang
ditempuh taksi adalah dari airport ke Pantai Cenang, yaitu tidak sampai 10 km. Jika 20 ringgit berarti jaraknya dari airport ke Pantai Tengah, sekitar 12 km. Asal sebut saja sudah
buking disalah satu penginapan yaitu Zachry Guesthouse. Baru tahu belakangan letak penginapan itu di Pantai Tengah.
Sejatinya saya belum buking hotel apapun, tapi malam itu saya menuju Zachry Guesthouse, karena referensi
internet. Pede benar ya. Sampai
disana penginapannya
sudah tutup. Macam mana pula. Saya tekan bel-nya berulang-ulang, berharap masih ada kamar yang harganya 35 ringgit permalam sesuai iklan. Tak lama keluarlah si
empunya guesthouse. Dia bilang sudah tutup dan
kamarnya full. Acuh saja.
Tiba-tiba si empunya guesthouse
bertanya, “Dari Indon ya?”. Saya jawab, “Mmm.. dari
Jakarta, Indonesia”. Terus apa bedanya ya,
menurut saya aneh benar jika saya mendengar kata Indon. Kalau Indo tidak pake huruf “N” sudah biasa.
Tapi kalau Indon, aneh saja terdengar di kuping. Seperti ada
kesan konotasi negatif.
Si empunya guesthouse
memperkenalkan diri, seorang perempuan namanya Pete (baca: Pit) yang asli
Bandung. Saya menebak dalam hati,
ini orang pasti namanya Pipit
Darliapit.
Ealah kumaha
damang? Sudah jauh-jauh pergi,
masih ketemu urang Bandung yang buka usaha
penginapan di
Langkawi. Jadilah saya panggil dia teteh Pit. Sok akrab biar dikasi kamar ekstra. Hasilnya nihil, memang sudah
full semua. Teteh Pit menawarkan ada satu kamar
kosong yang tamunya pindah jadwal check
in. Kalau
saya berminat,
bisa digunakan dengan harga sama, dengan syarat besok paginya saya harus check out.
Buset dah ogah
amat. Saya kira, karena dari setanah air satu, tanah air Indonesia, saya akan dapat privilege apa gitu, ternyata tidak ada.
Yah sudah, saya
minta disarankan hostel lain yang murah dan bersih di sekitaran situ.
“Kalau di Pantai Tengah tidak ada, paling kalau mau di Pantai Cenang yang jaraknya sekitar 3 kiloan,” teteh Pit menyarankan. Oke lah kalau begitu. Sudah malam, tidak
ada ojek. Saya jalan sendirian tiga kilometer ke Pantai Cenang demi mencari hostel murah.
Sekalinya dapat hostel seharga 20
ringgit. Dormitory room. Wah saya senang
sekali. Eh, ketika
akan diperlihatkan kamarnya, ternyata sang resepsionis salah cek. Lagi-lagi sudah fully booked. Kalau mau, masih ada sewa tenda
kemping dihalaman, harganya 15 ringgit. OGAH AMAT. Lo kira digunung, cuihh
prett.
Makin malam, dapatlah hostel De Melati. Lokasinya
disebelah restoran Rasa, diseberang Underworld Langkawi. Kalau kawan main kesana, lokasinya pas dijalan utama Pantai
Cenang. Tarifnya 25 ringgit per malam sudah termauk sarapan. Lumayan bersih.
Satu ruangan isi 20 beds. Saya sewa untuk 2 malam. Selain itu, tersedia juga penyewaan
motor seharga
30 ringgit per hari. Lumayan dari pada naik taksi terus, bisa tekor.
###
Maka jadilah roommates
saya si Sharon dari England, Hiro dari Jepang, Luisa dan
Christopher dari Sweden, juga dua orang bule tidak tau dari mana. Temen sekamar saya lumayan
asik, baru kenal langsung mengajak
kongkow, nangkring
di Babylon. Sebuah Café pinggiran pantai yang ada live musiknya. Kira-kira mirip La Plancha kalau di Bali. Ini cafe buka sampai pagi.
Disana nambah lagi dua orang Sweden abang adek dan seorang Denmark. Makin ramai. Macam Perserikatan Bangsa-Bangsa
versi mini sedang berkumpul, dimana satu-satunya peserta dari negara dunia ketiga masih saja tidak bisa memutuskan suatu hal penting, yaitu akan ikutan mabuk atau tidak.
Peserta dari negara berkembang itu –sewot tidak mau disebut negara dunia
ketiga- akhirnya mohon diri duluan karena sudah mengantuk. Peserta lain masih tinggal di
Babylon dan lanjut sampai pagi. Salut deh kalau sudah soal
nangkring-menangkring di café gitu. Tuh bule-bule
tidak ada matinya. Orang pertama yang saya lihat ada di kamar hanya Hiro, dia selalu jadi yang pertama molor dan hebatnya pasti sudah
tewas sebelum midnight. Disiplin. Sangat
disiplin, sesuai darimana dia berasal.
Pagi besokannya,
-setelah breakfast dan morning chat bersama roommates tentang rencana sehari ini-, saya putuskan untuk naik cable
car Langkawi yang tingginya naujubileh. Cristoph dan Luisa ingin melihat peternakan dan kebun buah. Sharon tidak ada rencana, karena sudah
pernah lihat cable car. Dia menyarankan saya untuk tidak lupa membawa
kamera. Sharon bilang pemandangan diatas Langkawi Geopark keren abis. Maka tancaplah saya
keliling pulau selesai mengunyah roti panggang. Motor yang saya sewa skutik. Lumayan irit dan pas saya cek tangkinya
sudah full. Mantap.
###
Langsung menuju
destinasi pertama Langkawi Geopark. Tempatnya sekitar 25 kilometer dari Pantai Cenang. Kawasan pegunungan yang banyak
elangnya. Selama di perjalanan, yang saya lihat lebih banyak sawah, hutan yang
banyak monyet, dan yihaaaa laut!
That’s all makes me
enjoy my life. Thanks God.
Saya paling suka lihat alam,
disepanjang jalan saya temukan sungai serta pinggiran laut. Banyak kapal layar sedang bersandar. Masuk ke hutan-hutan yang monyetnya banyak sekali lalu belok ke pantai. I like and enjoy that much. Sekitar
empat puluh menitan berkendara,
-karena saya jalan
santai dan sering berhenti untuk foto-, akhirnya sampai juga di kawasan cable car. Tempat wisatanya tertata sangat
rapi, banyak toko-toko souvenir dan
restoran
sepanjang parkiran menuju loket tiket. Masih pagi, jadi belum begitu banyak pengunjung yang datang.
Harga untuk naik
cable car adalah 30 ringgit untuk dewasa dan anak-anak 20 ringgit. Langsung saya
beli tiket dan
hop on to the cable car. Saya lupa
kapan dan dimana terakhir kali naik cable
car, yang pasti cable car-nya tidak mendaki gunung
begini.
Sensasinya bikin
grafik mood happy langsung naik curam
beberapa derajat. Saya pergi sendirian jadi ketawa-tawa juga sendirian. Cuma takut
dikira gila, saya ajak tertawa pasangan manula dari India yang duduk dalam satu kereta gantung. Mereka liburan bulan madu yang entah keberapa kalinya. Saya
bilang ke mereka kalau saya senang sekali bisa naik cable car ini. Semoga suatu saat nanti bisa pergi ke India.
Keinginan saya didengar semesta.
###
Pos pertama cable car berhenti di ketinggian 600-an meter lebih diatas
permukaan laut. Dalam beberapa menit, saya sudah sampai diketinggian ini. Coba
bayangkan kalau
harus didaki, berapa jam nyampainya. Pemandangan dibawahnya, widihh
cakeepppppp. Rimbunan pohon menutupi gunung mirip brokoli raksasa. Lebat sekali berwarna hijau. Bayangkan mirip brokoli, dan brokoli itu memenuhi
semua permukaan gunung.
Pemandangan mata semakin jauh mengarah ketepi
pulau, barisan warna putih meliuk-liuk. Yes, garis pantai Pulau Langkawi. Ditengah
lautnya beberapa pulau kecil bertebaran. Mungkin Pulau Dayang Bunting juga ada disitu. Sumpah,
saya merasa
pagi yang sempurna dalam salah satu trip saya. Sekali lagi saya besyukur bisa lihat
itu semua. I love my life.
Puas foto-foto
dipos pertama, saya lanjutkan naik cable
car lagi ke pos kedua. Jaraknya lebih dekat, tapi saya akan segera berdiri
di tempat lebih tinggi lagi. Yup, setelah sampai di pos selanjutnya,
pemandangan makin ajaib. Hawanya tetap panas-panas sejuk. Tetep bikin gosong.
Di ketinggian 705 meter diatas permukaan laut gini, saya berasa pengen loncat menggunakan paralayang. Teringat waktu dulu berolahraga paralayang di Puncak Bogor. Gimana jadinya kalau saya
loncat dari bukit Langkawi ini, pasti nikmat sekali.
Bukit Langkawi, salah satu daya tariknya adalah jembatan yang menghubungkan antar bukit. Di ketinggian 700-an meter diatas permukaan laut tersedia connecting
bridge, dan saya berdiri diatasnya. Haha, am really enjoying my day. Jepret terus
sana sini.
Puas main diatas
jembatan, saya segera turun lagi menggunakan cable car, sensasi
turunan asik juga. Benar saja ketika sampai dibawah, cuaca makin panas, dan
antrian orang mulai mengular. Pesan
moral yang bisa dipetik adalah silahkan datang pagi-pagi kalau tidak mau antri dan kepanasan.
###
Saya lihat di
peta, bahwa
di dekat Langkawi Geopark ada air terjun. Namanya air terjun Seven Wells. Yah
berangkatlah saya kesana sebagai sasaran selanjutnya. Hanya sekitar 10 menit
dengan motor sudah sampai. Ternyata free entrance. Gratis. Horee. I love gratisan.
Hanya bayar parkir motor saja 1 ringgit. Wah, good
service.
Mulai mendaki
ke Seven Wells. Ketinggiannya untuk
sampai di Seven
Wells harus naik tangga yang berjumlah 638 anak tangga.
Menurut papan informasi, ketinggian
diatas situ sekitar
480 meter diatas permukaan laut. Saya menanjak sampai keringedan,
kalau Bahasa Perancisnya gobyos. Supaya baju saya tidak basah kuyup karena keringat, terpaksa sambil buka baju.
Capek, pasti. Tapi terbayar ketika saya lihat air terjunnya. Huaaa… sumpah
keren mampusss.. Sayangnya saya tidak bawa celana renang. Ketinggalan dikamar, jadi tidak bisa main basah-basahan. Nextime, saya akan berenang disitu. Saya sudah ikrarkan
janji pada batu
dan rumput yang bergoyang disekitar air terjun. Bahwa saya akan kembali, demi berenang di Seven Wells.
Di Seven Wells
ini, saya berkenalan dengan dua cewe cakep dan panas (baca: hot) asal Belanda. Namanya Monique dan Caroline. Mereka
berdua sedang berlibur di Asia. Saya mendengar mereka sedang
ngobrol menggunakan bahasa ibunya, Bahasa Belanda. Kebetulan saya
sotoy, jadilah nimbrung dan selanjutnya jadi temenan selama setengah
hari di Langkawi. Jarang-jarang dapet
temen cakep begini.
Mereka kaget ada
orang Indonesia yang bisa ngomong Boso Londo. Saya membual ke mereka,
bahwa di Indonesia banyak opa-oma yang masih berbahasa belanda. Saya termasuk salah satu
opa itu.
Seven Wells
termasuk daftar tempat yang harus dikunjungi ketika ngetrip di Langkawi. Air
terjunnya tinggi dan pemandangannya ciamik. Batu-batu besar dan pemandangan ajib. Setelah dari Seven Wells, saya dan dua orang cewe londo tadi sepakat untuk mencari
air terjun lainnya. Tiba-tiba kami kompak jadi pemburu air terjun.
###
Di peta dijelaskan ada Temurun
Waterfall yang jaraknya lumayanan diujung utara pulau Langkawi. Deal,
maka berangkatlah kita bertiga. Cewe-cewe londo bawa skutiknya sendiri, mereka
goncengan. Ternyata jarak ke Temurun Waterfall agak jauh. Tapi ketika sampai disana, semuanya terbayar dengan
keindahan air terjun Temurun.
Lokasi air terjun Temurun dari
jalan raya harus hiking sedikit di jalan setapak yang sudah
disiapkan. Masuk ke dalam hutan. Sekeliling pepohonan banyak terdengar bunyi suara alam seperti jangkrik dan
burung. Serasa
simfoni alam. Damai dan tenang, adem pula. Memang tidak sampai ngos-ngosan manjat
ke tempat air terjunnya. Tapi begitu sampai, widihhh urat narsis otomatis nyala.
Jepret sono sini. Apalagi sekarang ada travelmates yang menemani, cewe pula, bisa motoin juga. Tambah narsis.
Dari Temurun Waterfall, saya pisah
jalan dengan si dua cewe londo. Perkaranya simpel. Lapar. Mereka mau makan roti, dan saya mau makan nasi
lemak. Dasar perut keju versus perut singkong. Kami berpisah ditengah jalan
tetapi janjian lagi setelah makan siang nanti. Rencananya kami akan bertemu di Pantai Cenang untuk sunbath. Bayangkan itu kawan, adegan sunbath. Saya beri tahu bagi kawan-kawan yang norak, apa itu sunbath. Adalah mandi matahari. Dimana-mana, yang namanya mandi pasti buka baju kan. Tengil benar saya waktu itu.
Monique dan Caroline beruntung kulitnya dirancang untuk
sunbath, nah kulit saya dirancang untuk
moonbath. Tetapi kesempatan tidak datang dua kali kawan. Mumpung di Langkawi bersama cewe-cewe Londo, saya meng-iya-kan saja.
###
Supaya cepat bertemu mereka lagi, meluncurlah saya cari kedai nasi lemak
di pelosok kampung. Sengaja saya mencari nasi yang benar-benar tradisional, karena pasti rasanya
beda. Patokannya adalah nasi uduk kampung versus nasi uduk mall. Pasti enakan yang
dari kampung kan. Itu teori saya. Ternyata benar. Setelah saya
berpusing-pusing, ketemulah salah satu kedai. Judulnya mejual nasi campur. Menu makan siang saya
adalah nasi, ikan bilis di sambelin, telor ceplok, sayur oseng oseng, ikan
tongkol, ama kuah kari. Minumnya es teh tarik. Sempurna.
Sang penjual nasi
campur adalah seorang ibu-ibu penduduk lokal. Dari bahasa non-verbalnya si Ibu, bisa saya terjemahkan
sebagai berikut: "wah ada turis dari Indon makan di kedai saya". Sighh.. kenapa juga masih harus pake huruf “N” dibelakangnya. Enakan Indo dikuping.
Seolah raut wajah si ibu mengatakan "Jarang sekali ada turis dari Indon. Kalau orang Indon biasanya di Malaysia tuh kerja (baca: TKI)". Miris.
Si Ibu yang penasaran akhirnya bertanya kepada saya, tentang pekerjaan apa
yang saya lakukan di Jakarta. Kalau
saya jelaskan saya seorang kresecker – dia pasti bingung, mengaku model - saya terlalu tampan, mengaku dokter – saya
tidak sepintar itu, mengaku pengusaha – ngapain juga nge-gembel, mengaku bandar
narkotik – bisa jadi tapi berbahaya, mengaku gigolo internasional – ah, terlalu
vulgar. Akhirnya saya jawab bahwa saya kerja
sebagai wartawan. Si Ibu pun diam.
Setelah makan,
perut full, saatnya isi perut motor. Isi bensin sekitar 2
ringgit. Sudah penuh lagi. Siap untuk keliling.
Janjian dengan Monique dan
Caroline di pantai setelah makan. Tapi udara masih panas
diluar. Bisa gosong nanti dan bukan efek tan yang saya dapat. Saya ingat, mereka berpesan akan berjemur
beralaskan handuk
warna biru. Maka ketika matahari sudah agak doyong sedikit, mulailah saya bergerilya cari bule di pantai.
###
Tetep saja udara masih panas. Dipantai, saya dapat tawaran macam-macam. Mulai dari jetski, banana boat, parasailing,
dan aktivitas standar pantai. Jawaban saya sambil terus jalan menyusuri pantai
adalah no thanks. Sambil senyum. Memang saya
tidak ada waktu dan budget untuk
begituan.
Setiap kali saya
celingak-celinguk
cari cewe bule berjemur beralaskan handuk biru, selalu bukan Monique
dan Caroline. Lantas saya pikir mereka tidak jadi berjemur. Terus
saja saya mencari
di antara bule-bule yang bergoleran telentang-tengkurep.
Perempuan berjemur mengenakan bikini, pria cawat saja. Lumrah. Tapi
teriknya matahari membuat kamuflase di mata saya. Ada
satu cewe
yang dari kejauhan terlihat seperti cowo sedang berjemur, karena menggunakan celana dalam saja. Yes she is top less. T.O.P.L.E.S.S.. Biasa aja
kali bung!
Posisinya telentang. Muka
berkacamata hitam yang kemungkinan sedang merem. Silahkan dibayangin dan bukan
cerita jorok nih ya. Karena kejadian setting
tempatnya memang dipantai dan lagi panas-panas pula.
Positif thinking. Pertama, si mba-mba bule
kepanasan. Kedua, si mba-mba bule memang sudah biasa begitu. Ketiga, mba-mba
bule tidak pengen warna kulitnya belang dibagian tertentu. Keempat, aduh saya tidak
bisa mikir.
Karena posisi
telentangnya sudah pas didepan saya, yah masak saya mau balik badan. Saya terus maju jalan.
Pas sudah deket sekali, ternyataaa si mba-mba topless
adalah Monique. Sedangkan Carolien ada disebelahnya sedang bergoleran baca buku. Handuk, handuk, mana handuk.
Saya lihat handuk tatakan badan mereka berwarna
biru. Sudah pasti mereka. Tiba-tiba dengan adegan
sepersekian detik cepatnya, set-set-set: Carolien
nengok ke saya, saya nengok ke Monique, Monique tidak tahu sedang melihat kemana karena dia berkacamata hitam dan dalam posisi
telentang.
Degg, nanti saya disangka
ngintipin lagi. Setau saya ngintipin melanggar hak asasi manusia dan termasuk
pelecehan. Kali ini termasuk kedalam pelecehan seksual gak ya. Tapi kan ini
dipantai, tapi kan ini siang-siang, tapi kan ini rame, tapi kan ini… langsung berbagai
alasan segera terkumpul untuk jawaban, kali saja ditanyain. Lagian kenapa juga lo telanjang!!
Detik yang sama
Carolien memberikan bra ke Monique dengan
anggun. Saya langsung menyapa hangat sambil menoleh ke
Carolien, ekor mata tetep mengarah ke tempat lain. Bukan, bukan ke arah Monique, karena Monique –saya duga- pasti lagi
ribet mengikat suatu tali-temali dipunggungnya. Saya
melirik ke arah benda bulat lonjong yang dari tadi menetes tak terkontrol. Persis berada di genggaman tangan saya. Aihh, botol air mineral yang saya pegang dari tadi menetes karena berembun. Saya
baru membelinya dari warung pinggir
pantai, sesaat sebelum bertemu mereka. Airnya masih dingin karena baru keluar dari kulkas… tes.. tes…
tes.
Ternyata sapaan saya
dijawab ramah oleh mereka. Mereka bilang kalau sudah dari tadi berjemur. Bahkan mereka mengajak saya untuk
berjemur juga bersama-sama. What the.. saya kira
bakal didamprat, ternyata seperti
tidak terjadi apa-apa. Saya langsung gelar lapak dan ikutan sunbath. Threesome,
bertiga maksutnya. Padahal kulit saya sudah gosong sebelum berjemur. Kenapa saya masih nekat berjemur juga. Nakal, nakal
sekali. Oh ya, nasib botol air mineral saya, tetesannya makin parah. Rembes hingga ke handuk.
###
Pulang ke hostel
saya pangling lihat orang dicermin. Bukan tanning
tapi mirip dakocan. Setelah mandi I had my dinner dan
kongkow ama roommates. Si Inggris, si
Swedia, dan si Indonesia. Ngobrol ngalor-ngidul. Makin malam kayaknya saya makin tidak bisa
tidur.
Melipir ke cafe Babylon lagi di pinggir pantai, yang letaknya tinggal sepelemparan kolor dari kamar. Lanjut ngobrol ini itu. Tiba-tiba saya masih ingin eksplore Langkawi walau sudah malam. Spontan, saya pacu motor menuju Kuah
Town. Mirip ibukotanya di Pulau Langkawi. Iseng saja. Kuah Town berjarak
sekitar 20 km. Ternyata di Kuah Town tidak ada apa-apa. Hanya mall dan saya pulang lagi.
Ditengah jalan saya lihat ada pasar malam. Otomatis merapat dan melihat
kondisi pasar malam. Wah, makanan yang dijual enak-enak. Ada nasi lemak kukus yang belum pernah saya coba sebelumnya. Metode
nasinya di kukus mirip kue putu.
Lauknya, saya pilih telur dan ikan bilis. Semua hanya 2 ringgit. Disebelahnya ada makanan
khas India, samosa, risol dan sate bola udang. Tidak
tahu jam
berapa selesainya, yang pasti sampai di hostel saya langsung tepar terkapar.
###
Paginya setelah breakfast, merupakan hari terakhir di Langkawi. Saya kembalikan motor
dan pamitan dengan roommates. Saya akan menuju airport dengan berjalan kaki. Jalan kaki saudara-saudara. Tidak jauh sih, jarak
dari hostel ke airport hanya limabelas kilometer. Sekali lagi limabelas. Biar mantap.
Niatnya berjalan karena saya masih punya banyak waktu dan sengaja mau sambil
foto-foto dataran Langkawi.
Perhitungan saya, dengan jarak segitu tidak akan lebih dari 2 jam perjalanan. Hemat
dan saya bisa sekaligus melihat-lihat pemandangan. Hasil dari perjalanan menuju airport berjalan kaki adalah kaki berair, tandanya akan kapalan. Kalau tersentuh terasa nyut-nyutan. Tapi saya tetep bahagia.
Dibutuhkan hanya satu jam berada di pesawat, hingga saya kembali
mendarat di Kuala Lumpur. Transit sejenak sebelum kembali terbang
ke Jakarta. Cita-cita saya menuju India tersimpan di rerimbunan hutan Langkawi.
Saya akan menuju kesana. Pasti.
@arkilos
gue suka post ini. ciamik! :)
BalasHapusKEren Ri!
BalasHapusPengalamannya bermanfaat banget, untuk jadi bahan referensi traveller lainnya. Thanks Mas ! :)
BalasHapus