an Indonesian in Indochina (babak #3)

PHLENG Chat Thai berkumandang di seantero negeri setiap jam 8 pagi dan 6 sore. Melalui radio, pengeras suara di tempat umum, serempak kompak. Biasanya orang Thailand langsung freeze untuk menghormati lagu yang diputar sekitar semenit itu. Tak perduli sedang berjalan, menunggu kereta di stasiun, di dalam bus, dimana saja. Bahkan kalau situasinya memungkinkan mereka langsung berdiri khidmat sambil bersenandung ringan menyanyikan lagu kebangsaan. Ah, mereka pasti bangga dengan negaranya, sama seperti saya bangga akan Indonesia. Tiada taranya.

Saya baru terbangun dari tidur ketika sayup-sayup suara lagu Phleng Chat Thai berhenti dinyanyikan. Disebelah kanan kiri saya sudah ada orang-orang yang menempati lapak kasurnya masing-masing, masih mendengkur. Padahal semalam ketika saya tiba, kamar guesthouse ini masih kosong. Dormitory Green Tulip Guesthouse Chiang Mai, isi 4 kasur, pagi ini sudah terisi pejalan dari mancanegara.
Paul Barrat, yang dari namanya berasal dari negara barat, Inggris, menempati lapak pertama. Steven Cope di lapak kedua berasal dari Amerika. Nah, di lapak ketiga inilah ada Kresecker yang sering uring-uringan jika negaranya disebut sebagai negara berkembang. Apalagi jika negaranya disebut sebagai negara dunia ketiga. Repot betul. Pada lapak kasur terakhir ditempati warganegara Switzerland bernama Patrick Keller. Dibawah asuhan landlord Green Tulip bernama Stella, kami berempat segera membuat geng Chiang Mai bertajuk “Melanglang lah sebelum melanglang dilarang.

###

Saya tidak ada rencana penting di Chiang Mai. Hanya dengan menginjakkan kaki di tanah Chiang Mai, salah satu mimpi saya -sejak duduk di Sekolah Dasar- terwujud. Masih ingat dulu ada pagelaran olahraga Asean yang digelar di sini. Kemudian saya menerka-nerka dimana itu Chiang Mai. Seperti apa rupa Chiang Mai. Sekarang saya hanya terbengong sendiri bisa berada di tengah Chiang Mai. Mari plesir.

Daerah Jajahan



 Chiang Mai adalah kota kuno yang dulunya berupa kerajaan seluas kurang lebih empat kilometer persegi. Benar-benar berbentuk bujur sangkar dengan dipagari tembok tebal sekelilingnya. Diluar tembok ada sungai kecil yang memutari kota tua. Itulah inti Chiang Mai. Tidak luas. Jalan berkeliling didalam kota tua Chiang Mai, tidak sampai sehari pun tuntas.


 
Chiang Mai berkembang. Daerah-daerah diluar tembok kota tua terus membesar. Di setiap sisi tembok terdapat dua gerbang untuk keluar masuk kota tua. Tempat saya bermalam berada di sisi selatan kota. Berjarak hanya 2,5 km dari bandara.

River around Chiang Mai


 Pemberhentian pertama adalah pasar tradisional Chiang Mai. Saya mendapatkan sticky rice mango yang masih hangat. Ini adalah makanan nasi ketan yang disajikan dengan potongan mangga manis dan kuah santan. Beras ketan yang dimasak haruslah benar-benar pulen sehingga lengketnya bisa pas. Potongan mangga disiapkan. Saya taksir ini bukan mangga harum manis atau simanalagi, tapi mangga Bangkok. Gumpalan ketan dan potongan mangga tadi disiram santan. Lezat sempurna. Selamat pagi Chiang Mai.



###

Adaptasi di tempat baru biasanya sebentar saja. Terbiasa nomaden dari satu kota ke kota lain, kekikukan saya mulai berkurang. Pernah dulu, -dulu sekali- ketika saya masih udik, saya hanya merasa menapak di tanah asalkan itu di pulau jawa. Jika berada di luar pulau jawa, saya merasa mengambang diatas tanah. Ibarat sayur tanpa garam. Kurang mantap.
           
 
Chiang Mai's pedestrian

            Chiang Mai menyita hati saya. Kota ini di saat kudeta militer pun terasa damai tentrem gemah ripah loh jinawi. Kemanapun saya menyusuri kota rasanya nyaman. Keluar masuk kuil yang dalam bahasa setempat disebut Wat. Mulai dari Wat Jetlin, Wat Chang Taem, Wat Chedi Luang, dan wat-wat lainnya yang saya tak hapal saking banyaknya.
           



            Orang Thailand gemar sembahyang ke kuil. Dimanapun kuilnya, sibuk banyak orang keluar masuk sembahyang. Saya jadi ikut-ikutan baca Al Fatihah karena tidak tahu harus merapal doa apa. Kalau sudah begini rasanya doa apapun dengan berbagai cara dan aneka metode bertujuan hanya untuk kebaikan. Tapi saya masih suka heran sama orang-orang yang berjualan agama, saling hasut, bahkan agama dijadikan bahan politik. Menurut saya orang-orang seperti itu harus sering diajak jalan-jalan supaya otaknya kembali segar.




Wat Chedi Luang


###

Ceritanya saya ingin menjadi turis. Saya tukar uang dollar saya menjadi baht. Jadi banyak. Tajir melintir dalam sekejap. Banyak biro-biro tur pinggir jalan menawarkan wisata menunggang gajah, kelas memasak, wisata gua. Tak ada yang menarik minat saya. Rencana saya adalah pergi ke Chiang Rai. Ngeteng.
           
 



Chiang Mai's Three King


            Ternyata biaya ngeteng lebih mahal daripada ikutan tur. Maka saya resmi menjadi turis. Beli paket tur seharian penuh dan akan mengunjungi Chiang Rai dan Mae Sae. Sesekali menjadi turis, enak juga.
           
 
Browsing around

            Paket tur yang saya beli seharga 1000baht, harusnya 1400baht. Pipi mba-mba agen tur tersipu merona. Entah termakan rayuan saya karena saya bilang bahwa dia mirip sekali dengan Happy Salma, artis dari Indonesia, atau memang dia kasihan sama saya. Rasanya alasan kedua lebih masuk akal, muka saya melas waktu menawar.
           
 
Another Wat that i forgot its name

            Esok paginya dijemputlah saya dengan kendaraan minivan lux dilengkapi pendingin udara di depan hotel. Pemandu wisata saya bernama Becky yang bahasa Inggrisnya selalu dibubuhi kata “okay” di penghujung kalimat. Becky ditemani Mr. Hu sebagai pak supir. Mereka berdua sudah seperti rekaman kaset ketika membawakan tur perjalanan seperti ini. Entah sudah berapa kali mereka mengulang-ngulang penjelasan yang sama, okay. Mulai dari menanyakan paspor kami sebagai pass masuk ke Laos dan Burma border, okay. Hingga menanyakan siapa yang haus, okay. Semuanya dijelaskan bak ulangan rekaman kaset yang sudah jenuh, okay. Yah mau bagaiamana lagi, mereka berdua harus bekerja, okay.

###

Acara pertama adalah mengunjungi kota Chiang Rai yang berjarak sekitar 200 km dari Chiang Mai. Minivan terus mengarah ke utara Thailand hingga kami singgah di sebuah sumber air panas. Entah apa maksutnya sumber air panas itu. Kalau di Indonesia sih, sebut saja di Taman Nasional Gede Pangrango, itu Hot Spring di Chiang Rai tidak ada eek-eeknya. Hanya kolam bulat yang menyemburkan air panas. Nggak banget.
           
 
Caution! it is hot.

            Karena saya turis, saya harus menikmatinya. Saya rendam kaki saya di kolam rendam kaki demi menghilangkan daki.

###

White Temple di Chiang Rai laksana magnet yang menyedot wisatawan. Kuil berwarna putih keperakan yang megah itu ternyata masih berusia muda. Saya mengunjunginya ketika dia baru berulang tahun ke tujuhbelas. White Temple sedang berbenah diri akibat gempa tempo hari yang merusak bubungan kuil.
           
 
The Gorgeous White Temple

            Diorama neraka menghiasi kolam di depan White Temple. Ceritanya dari samsara menuju ke nirwana. Moral yang dipetik adalah kebaikan tiada taranya dan surga balasannya.
           
 
The Gorgeous man in the White Temple *sakarepmu*





They have also hidden temple which is gold


            Tujuan saya selanjutnya yaitu mengunjungi Golden Triangle. Terlintas dipikiran saya adalah sebuah tempat ladang ganja. Ternyata Golden Triangle merupakan tempat bertemunya tiga negara Thailand, Laos, dan Burma. Jika Eropa, misalnya, punya Vaalserberg yang merupakan titik bertemunya Jerman, Belanda dan Belgia, kini saya berdiri di Golden Triangle sebagai wakil pertemuan tiga negara di Asia.
           
 
a lil bit confused with the concept of the Golden Triangle

            Harapan saya berbeda. Saya kecewa. Di Golden Triangle ini kita tidak bisa berdiri di satu titik yang merupakan pertemuan tiga negara. Sebabnya yang menjadi batas negara adalah pertemuan antara sungai Ruak dan sungai Khong. Saya harus melintasinya dengan menggunakan perahu melalui imigrasi Chiangsaen. Ribet bener.
           
 
Drugs place?

            Konon daerah sekitaran Golden Tirangle ini merupakan pusat perdagangan ganja dan opium. Kalau kawan mampir kesini harap berhati-hati, nanti sekembalinya ke tanah air disangka Bandar narkotik. Runyam.

it is called ASEAN

###

Saya terus mengarah ke utara. Sekitar 100 km dari Chiang Rai ada sebuah kota kecil bernama Tachilek. Ini adalah perbatasan paling utara di Thailand yang bersinggungan dengan Burma. Lagi-lagi saya bertemu imigrasi terasi basi. Padahal yang memisahkan kedua negara ini hanya sejengkal sungai kecil. Niscaya jika penduduk lokal buang air besar di sungai itu, maka kotoranya bisa langsung pindah negara. Beda negara, beda pemerintahan hanya sebatas sungai kecil. Sebuah konsep perbatasan yang unik. Jika melewati imigrasi harus ekstra bayar 500baht untuk bea Pajak Tanah. Padahal harusnya sudah bebas visa. Pungli ini sih.
           
 
Going abroad? It is just a stone throw *alias sepelemparan kolor*

            Di perbatasan dekat Tachilek ini ada sebuah desa bernama Mae Sae. Disini banyak orang asli Burma yang melarikan diri ke Thailand. Mereka bukan sembarang suku, tapi suku yang tekenal dengan lehernya yang panjang-panjang. Mereka adalah suku Karen berleher panjang. Asal muasalanya suku Karen berada di Provinsi Kayah di bagian timur Burma. Mereka bermigrasi ke perbatasan Thailand dan menetap disana. Jumlah populasi suku ini kurang dari 40 ribu orang dan semakin lama semakin sedikit.
           
 
The Long Neck Karen are a sub group of Karen living in Kayah state of eastern Burma (Myanmar) on the Thailand border. Their number is less than 40 thousand people in total. I thought the tour agency -that brought me to their village- will show me how they living. In fact, they are just waiting for the tourists to buy some souvenirs from them :(

            Saya rasa atraksi mengunjungi suku Karen bukanlah merupakan opsi perjalanan yang baik. Saya kecewa dengan paket tur yang ditawarkan untuk mengunjungi suku ini. Mereka terlihat dengan jelas menjual keberadaan suku Karen ini demi meraup uang. Ketika tiba di desa suku Karen ini, yang saya harapakan adalah bisa melihat kehidupan keseharian mereka. Paling tidak seperti apa yang terjadi di suku Baduy, Jawa Barat. Tapi ini suku Karen sengaja di ekspose hanya untk berjualan souvenir. Jadi di desa itu dibuat semacam pasar dengan deretan kios-kios beratapkan ilalang. Mereka berada didalamnya seolah menjaga toko dan berharap agar para turis membeli suatu cinderamata dari mereka. Awalnya foto bersama, baru kemudian muncul rasa bersalah jika tidak membeli sesuatu dari mereka. Bisnis pariwisata yang aneh menurut saya.

###

Sekembalinya ke Chiang Mai, saya bergabung lagi dengan Geng Melanglang. Kami sibuk main kartu remi dan kalau bosan pergi ke atas gunung mengunjungi kuil Doi Suthep. Jika kawan mengunjungi Chiang Mai, wajiblah mengunjungi Wat Phrathat Doi Suthep ini. Letaknya hanya  sekitar 11 km diatas gunung di sebelah barat laut Chiang Mai.
           
 
Doi Suthep



             Perjalanan menuju ke Doi Suthep banyak dijumpai air terjun. Di kaki gunungnya juga tersedia tempat wisata kebun binatang Chiang Mai. Tujuan kami adalah kuil. Entah kenapa saya jadi rajin mengunjungi kuil. Bersepeda pula.
           
 
a must visit place when you were in Chiang Mai

            Pemandangan dari atas Doi Suthep benar-benar priceless. Damai dan indah. Kami betah berlama-lama menunggu malam. Menunggu waktu main remi di rooftop Green Tulip, sekembalinya dari Doi Suthep.

###

Ada pertemuan ada perpisahan. Ini hari terakhir saya berada di Chiang Mai bersama Geng Melanglang. Setelah ini saya akan menuju Hadyai nun di ujung selatan Thailand. Ketiga teman saya bingung atas apa yang saya kerjakan. Dari utara langsung pindah ke selatan. Tanpa tahu akan mengunjungi apa. Mereka sangat khawatir karena di selatan Thailand dikhawatirkan kondisi politiknya lebih buruk. Saya jelaskan ke mereka bahwa tidak akan terjadi apa-apa. Sama seperti di utara sini. Dimana saja, sama saja. Selama bertujuan baik, hal-hal baik akan selalu mengikuti.
           
 
Screw the curfew!

            Paul berencana mengunjungi Krabi demi agenda moon party. Steven tetap akan berada di Chiang Mai sampai dia merasa bosan. Sedangkan Patrick besok harus kembali ke Bangkok, persiapan pulang ke Switzerland. Entah kapan geng ini akan bertemu kembali.

###

Bandara Chiang Mai dekat saja dari Green Tulip Guesthouse. Geng Melanglang masih tepar akibat pesta perpisahan semalam. Saya kemasi tas pagi-pagi budeg dan kembali melakukan ritual jalan kaki menuju bandara.  Pamit kepada Stella, landlord guesthouse yang super ceria laksana ibu kos di tanggal muda.
           
 
ลาก่อน means see you again (:

            Tidak sampai setengah jam berjalan kaki, saya sudah tiba di bandara Chiang Mai. Dari utara menuju selatan. Belum tahu akan berbuat apa nanti di Hadyai. Bersambung.

@arkilos
kreseckers@gmail.com




Komentar

  1. "The Goergeous Man", Arkun? NO NO NO
    your friends in Geng melanglang, handsome2 juga tuch, hahahahahha!!!!
    wants more wants more, yg ini panjang, tapi berasa pendek. thanks anyway

    BalasHapus
    Balasan
    1. I am haghaghaghag
      ayo mba ke Chiang Mai, jangan ke Chiamis muluuu :P

      Hapus

Posting Komentar

Komentar aja mumpung gratis