SETENGAH sadar ternyata kaos kaki saya hanya terpasang sebelah ketika berlari tunggang langgang menuju Pos Pemantauan di sabana Sembalun. Sebelah kaos kaki masih tergenggam di tangan akibat terbirit-birit mengejar teman saya yang sudah berlari terlebih dahulu masuk ke dalam lebatnya hutan Bawak Nao. Misi kami menolong rekan pendaki lain yang mengeluh kram pada kakinya ketika turun dari Rinjani, disebabkan dia naik gunung menggunakan sendal jepit. Saya taksir kalau rekan pendaki itu menganggap dirinya seorang porter gunung yang sanggup menanggung beban pikulan menuju tanah setinggi 3726 meter di atas permukaan laut. Enak saja, naik gunung dikira perkara remeh-temeh. Baru tahu rasa dia.
Jauh, jauh sebelum
kejadian heroik nan memukau hingga harus menggendong tas si pendaki kram itu,
saya masih sibuk bekerja di depan PC, di kantor saya di Jakarta. Hingga saya
memutuskan membeli tiket pesawat untuk keesokan harinya menuju Lombok. Boss
saya geleng-geleng kepala, mungkin menganggap saya sakaw karena kurang menghirup hawa gunung. Padahal sudah dua bulan
berturut-turut ini saya pasti pergi ke gunung setiap akhir pekan.
Saya
bertemu dengan rekan-rekan pendaki Rinjani ketika nyaris telat boarding di Jakarta. Kami bersepakat
membagi tenda di atas nanti. Entah bagaimana ceritanya, diangkutlah kami
menggunakan minibus ke desa Sembalun Lawang. Kami ditampung di rumah mantan
Kepala Desa. Bukan main, sangat berbeda dengan rumah Kepala Desa yang biasa
saya bayangkan. Lumrahnya rumah Kepala Desa adalah mewah, megah, luas,
sumringah. Tapi rumah mantan Kepala Desa yang kami inapi malam itu sungguh luar
biasa sederhana. Ruang tamunya yang dulu berfungsi sebagai kantor Kepala Desa
hanya dihiasi sebuah foto yang menempel di dinding tentang dua orang
bersalaman. Laki-laki dan perempuan berjabat erat dimana tangan kiri mereka
memegang secarik piagam yang ingin dipamerkan ke khalayak ramai. Sebuah pose
standar ketika dua orang pejabat bersalaman.
Kawan,
saya perkenalkan kedua orang yang ada di foto itu. Sang laki-laki adalah
seorang Menteri Penerangan dan sang perempuan adalah seorang Kepala Desa. Foto
itu diambil beberapa puluh tahun lalu dan yang saya lihat sekarang adalah
seorang perempuan sederhana setengah baya yang sedang menjamu kami dengan
keramah-tamahan luar biasa. Dia lah mantan Kepala Desa. Dia lah yang pernah
memimpin desa Sembalun Lawang selama sembilan tahun. Ibu Kepala Desa itu
bernama Rusmini.
Ibu
Rusmini seperti sosok ibu rumah tangga kebanyakan. Semua urusan tetek bengek
mulai dari memasak hingga mengurus suami dan anak-anak dilakukannya sepenuh
jiwa. Tidak tampak sedikit pun bahwa dia pernah menjabat sebagai seorang Kepala
Desa. Kepala Desa yang dipilih rakyat selama sembilan tahun. Kepala Desa yang
konon hanya sebagai simbol tapi tidak berfungsi maksimal. Kepala Desa yang ada
hanya sekedar milik desa. Bahwa sebuah desa tidak akan kurang suatu apa karena
memiliki seorang sosok Kepala Desa. Tapi tunggu dulu kawan, tunggu ketika ibu
Rusmini mulai bercerita.
Saya terkagum-kagum
dengan sosok ibu Rusmini, dia mengaku telah sering kali menerima pejabat-pejabat
ibukota yang gemar bertandang ke Sembalun Lawang demi menebar benih ikan di
danau Segara Anakan. Menemani pejabat-pejabat ibukota yang bersorak sorai
ikutan panen raya ketika hasil bawang putih melimpah ruah di Sembalun. Hingga
mendirikan kantor Kepala Desa yang diresmikan langsung oleh Menteri Penerangan.
Bukan main.
Seorang Rusmini juga tidak pandang bulu menampung siapa saja yang kemalaman dan membutuhkan bantuan. Termasuk menampung saya dan rekan pendaki lain yang akan merapat ke Semeru keesokan harinya. Ibu Rusmini berujar bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa, namun dengan menerima banyak tamu, maka rejeki akan datang sendiri. Dia beranggapan hartanya yang paling berharga adalah memiliki sahabat-sahabat nun dari antah berantah. Oleh ibu Rusmini, kami dianggap salah satunya.
Ibu
Rusmini membekali kami sebutir kelapa yang sudah diparut untuk dibuat campuran sup
kacang hijau ketika kami bermalam di Rinjani. Kami kemasi tas lalu melanjutkan
perjalanan menuju Bawak Nao.
Sabana
Sembalun membentang luas ke segala penjuru. Perbukitannya elok bak taman tempat
bermain sapi-sapi gunung. Kami meniti jalan setapak di sabana Sembalun hingga
mendekati hutan Bawak Nao. Pepohonan di Bawak Nao sedikit tersibak ketika kami
mendekati dan berusaha masuk ke dalamnya. Jalur ini sebenarnya merupakan jalan
pintas daripada kami harus melewati pos utama pendakian. Siang itu hutan Bawak
Nao sedang kering. Daun berguguran ditanah menutupi jalan setapak menuju ke pos
Pemantauan. Berhati-hati, kami takut tersesat ditipu rimbunnya Bawak Nao.
Pos
pertama lebih dikenal oleh warga setempat sebagai Pos Pemantauan. Setelah
berhasil keluar dari hutan Bawak Nao, ada dua jembatan tua besar yang kami
sebrangi sebelum tiba di Pos Pemantauan. Tidak banyak pos yang dibangun di
jalur pendakian Sembalun. Totalnya hanya ada tiga pos, yaitu Pos 1 Pemantauan,
Pos 2 Tengengean, dan Pos 3 Pada Balong. Terlihat mudah dan praktis. Tapi sejatinya
ujian baru dimulai setelah melewati Pos Pada Balong.
Jika
kawan mendaki gunung Rinjani, harus menyiapkan persediaan air sebaik mungkin.
Sebab air mudah didapat ketika berada di Pos Tengengean. Setelah itu silahkan
menahan haus hingga sampai di Pelawangan Sembalun.
Lepas
dari ketiga pos tadi, maka tersaji sebuah track
tanjakan yang sungguh sangat menguji
nyali. Pendaki terdahulu menyebutnya sebagai tanjakan penyesalan. Entah berapa
jumlah resminya itu tanjakan. Ada yang bilang sekitar sembilan kali tanjakan,
tak heran jalur menuju Sembalun Pelawangan itu kerap disebut sebagai jalur
Sembilan Penyesalan. Mendengar namanya saja saya sudah menyesal. Kepalang
tanggung.
Jika
gunung Semeru mempunyai satu tanjakan bernama Tanjakan Cinta untuk mengurai
bukit dibaliknya, maka Rinjani ibarat kucing yang memiliki sembilan nyawa.
Silahkan kalikan sembilan Tanjakan Cinta ditambah bumbu penyedap Tanjakan Setan
dari gunung Gede, maka kalian akan menyesal telah berani-beraninya berhadapan
dengan Rinjani.
Usaha
kami untuk menggapai Pelawangan Sembalun berakhir di sore hari. Penyesalan
bertubi-tubi tadi hilang laksana sulap, menguap entah kemana. Kami hanya diam
duduk tepekur memandangi danau Segara Anakan yang mulai ditutupi awan. Kami
tidak sadar bahwa kami sudah sampai di ketinggian 2600-an meter diatas
permukaan laut.
Keindahan
Sembalun Pelawangan semakin menjadi-jadi. Matahari berhasil menyibak awan
seolah memberi aba-aba bahwa dirinya segera beringsut digantikan malam.
Semburat kemerahan dari sebuah noktah berpendar mewarnai langit, mengoyak kabut
hingga menyusup ke dalam danau. Lambat-lambat tapi pasti, cahaya di langit
Sembalun Pelawangan meredup, berganti kelam bertabur jutaan bintang. Sungguh indah,
indah tak terperi.
Kemah
di Sembalun Pelawangan, -kalau boleh saya sarankan-, agar kawan mengambil
posisi lebih ke arah barat daya. Disana akan lebih mudah dijumpai sumber mata
air untuk persiapan menginap beberapa hari ke depan. Apa yang harus diwaspadai
adalah serbuan monyet hutan, jangan sekali-kali membiarkan tenda kemah terbuka
tanpa ada yang menjaga atau meletakkan barang berharga sembarangan. Pasukan
bromocorah berbulu abu-abu itu tak kan segan menggasak benda tak bertuan untuk
dibawa ke markasnya, di dasar jurang.
Idealnya
untuk menuju ke puncak Rinjani dimulai sejak dini hari dari Pelawangan
Sembalun. Namun apa daya, tim kami ada yang sakit sehingga serangan menuju
puncak Rinjani harus ditunda hingga matahari benar-benar terbit.
Bukan
masalah besar, sebab ketika di gunung kekompakan adalah yang utama. Kami mulai
mendaki ke puncak waktu matahari sudah naik kira-kira sepenggalah. Punggungan
Rinjani ibarat tulang belakang manusia. Kami mulai jelajahi dari tulang ekornya
hingga melewati leher dan tiba di kepala. Punggungan Rinjani melengkung seolah
ingin menoleh dengan angkuh.
Lebar
punggungan itu tak seberapa, dimana kanan dan kirinya tersaji jurang menganga
yang langsung menghantarkan kepada danau Segara Anakan. Tampak dari punggungan
Rinjani ke arah Segara Anakan, ada sebuah gundukan menonjol yang mencuat
menembus danau. Kawan, tahukah kalian siapa dia? Sini saya beri tahu, dia
adalah Anak Rinjani. Aktif dan tubuhnya masih bergejolak laksana gejolak darah
kawula muda.
Tiba di
leher Rinjani, tabiat tanjakan mulai semakin liar. Batu berpasir membuat ayunan
langkah semakin berat. Maju selangkah, mundur setengah. Tapi semangat ini
pantang menyerah. Saya pasang strategi untuk tetap maju bertahan di leher
Rinjani. Strategi ini saya sebut Ayunan Seratus Langkah. Dalam hati saya
menghitung dan tidak boleh berhenti sesuai ayunan langkah hingga hitungan ke
seratus. Rupanya strategi Ayunan Seratus Langkah itu hanya bertahan dalam tiga
kali pengulangan. Medan yang saya daki tidak semudah kelihatannya. Saya ganti
strategi.
Jika
Ayunan Seratus Langkah terlalu berat, kali ini saya mencoba strategi Ayunan
Limapuluh Langkah. Beharap Rinjani sedikit melunak, tapi ternyata sia-sia.
Rinjani tak sudi di daki dengan mudah, lehernya menegang seolah ingin
mengibaskan tengkuknya agar pendaki yang berada diatasnya segera turun. Benar
saja, bahkan lebih parah dari sebelumnya, strategi Ayunan Limapuluh Langkah
hanya bertahan sekali. Pada hitungan ke-limapuluh, ayunan kaki saya berhenti.
Pasrah.
Menenggak
air mineral botol, lumayan membuat semangat kembali terpercik. Saya pikirkan
strategi lain agar bisa sampai di puncak Rinjani. Ternyata saya kehabisan ide.
Tidak mau hilang akal, maka saya ambil mimpi-mimpi saya dan meletakkannya di
atas puncak Rinjani. Tekad sudah bulat, harus saya gapai mimpi itu. Harus
saya rebut kembali. Apa pun taruhannya.
Saya
tengok ke belakang, beberapa teman juga sedang bersusah payah merajah
Rinjani. Kali ini saya tidak lagi berstrategi menghitung langkah, tapi istighfar. Setiap kaki mengayun, keluarlah puji-pujian kepada Yang Maha Kuasa. Ajaib,
sisa pendakian itu terasa dekat saja. Diujung Rinjani nan terjal, mimpi-mimpi saya sudah menunggu untuk dipeluk kembali.
Tidak
akan pernah saya lepas lagi mimpi itu. 3726 meter di atas
permukaan laut saya dekap erat keinginan dan mimpi untuk menyambangi benua
Australia. Doakan saya.
**Sedikit tips, jikalau
berguna:
- Mengunjungi Taman Nasional Rinjani jangan di bulan Januari hingga April, karena pada bulan tersebut adalah masa pemulihan ekosistem dimana hewan-hewan sedang musim kawin. Kalau nanti mereka melihat pendaki dan jadi salah kawin bisa berabe.
- Ada dua jalur pendakian yang umum digunakan. Jalur Sembalun dan Jalur Senaru. Jalur Senaru, menurut hemat saya, lebih berat daripada Jalur Sembalu karena harus naik turun di Danau Segara Anakan. Tapi pemandangan di danaunya dapet banget dan bisa mancing.
- Ini rute Jalur Sembalun: Sembalun Lawang (1156mdpl) – Pos 1 Pemantauan (1300mdpl) – Pos 2 Tengengean (1500mdpl) – Pos 3 Pada Balong (1800mdpl) – Bukit Penyesalan (9x tanjakan) – Pelawangan Sembalun (2639mdpl) – Puncak Rinjani (3726mdpl).
- Ada juga rute Senaru: Desa Senaru (601mdpl) – Jebak Gawah – Pos 1 (915mdpl) – Pos Extra (1165mdpl) – Pos 2 (1500mdpl) – Pos 3 Mondokan Lokak (2000mdpl) – Cemara Lima (2503mdpl) – Pelawangan Senaru (2641mdpl) – Danau Segara Anakan (2000mdpl) – Pelawangan Sembalun (2639mdpl) – Puncak Rinjani (3726mdpl).
- Cara menuju Sembalun atau Senaru ada berbagai macam. Sewa mobil kalau perginya rame-rame. Jika hanya sedikit yang mendaki atau pergi sendirian, mainkan angkot dan ojek.
- Bersikap biasa aja kalau naik gunung, jangan nyampah, rendah hati, tidak sombong dan tetap rajin menabung.
- Gak usah norak kalo ketemu bule. Minta tanda tangan atau foto bareng. Sumpah gak penting, yang ada juga mereka kudu minta tanda tangan kita. Secara kita yang punya negara.
- Gak usah ikut-ikut bule yang buka baju. Karena kulit mereka di desain untuk sunbath. Kalau masih ngeyel juga, mau ikutan buka-buka baju biar ke-tanning-tanningan, jangan salahkan saya kalau bukan tanning yang didapat. Tapi kulit ngelotok mirip kulit jambu bol yang terkelupas.
- Perlengkapan komplit jangan lupa dibawa. Kalau malas bawa, silahkan sewa porter dan guide. Masih menurut saya, jika naik gunung tapi barangnya dibawain, kayaknya kurang ho-oh.
- Lebih baik norak di gunung daripada norak di mall. *apa dah*
Cakep gilll.. Btw mau nanya: "saya perkenalkan kedua orang yang ada di foto itu" ini foto yang mana yaa? Gak jelas. Adanya foto orang naek pick up. Trus fotonya kurang geda giil.. Gak jelass.. Coba digedein deh. Terakhir: fotonya pake cam apa dah bagus2 beneeer. Apa kalo naek gunung emang pemandangannya selalu oye?
BalasHapusmakasi kakk. oh, iya maaf, itu fotonya gak bisa diaplot. dibayangin aja. tau kan siapa Menteri Penerangan kita hahaha.
HapusKalo foto, itu uda maksimal ukurannya. perihal pemandangan di gunung emang selalu oye, ibarat kagak pake di keker juga langsung ajiiibbb.
kamera gw cuman hape ama pocket digicam jadul. mau DLSR apa tuh namanya, belom kebeli. boleh kakk kalo mau beliin nyahnyahnyah :P
makasi dah mampir.
and artinya lu mau kesini lagi getohhhh, Kun?
BalasHapuskagak boleh!!! enak ajah cuti2 melulu.... emang perusahaan nenek moyang apah????
wani piro????
kagak mba dhyn. gw mau cuti besar ke Ostrali. *makin.parah.amin*
Hapusngasih tips ga usah ikutan bule buka baju... lah ente endingnya buka-bukaan udah kayak Pasukan bromocorah berbulu abu-abu itu... wkwkwk... #btwawesomegill..
BalasHapusLoh justru bule-bule itu yg ngikutin gw gak pake baju. Tapi kalo dipikir, semuanya ngikutin monyet yg gak pake baju. #biarlah.biar.norak.begitu
HapusWaduh naik gunung pakai sendal, apa gak kepleset terus ya. Ya..ya...makanya keram ya
BalasHapusBukan contoh yang baik itu pakai sendal jepit. kecuali darurat mba.
HapusMantap Kaliii,,,,,,,,,Buat jadi kepengen nih,,,,
BalasHapusTerima kasih. Silahkan kunjungi Rinjani :)
Hapusbagus-bagus banget fotonyaaa>__<
BalasHapusArigato gozaimasu Niwa san san wa wa ^__^
HapusKereeeennn abis foto2nya ari.....
BalasHapusMakasih dok. Kapan nih ngetrip bareng lagi.
Hapus