HELM sebagai pelindung kepala saat
berkendara dengan sepeda motor wajib dipakai jika berada di teritori Indonesia.
Setuju, tidak usah diperdebatkan lagi. Untuk keselamatan si pengendara sendiri
apabila dirinya kecelakaan, paling tidak kepala -yang ada organ penting di
dalamnya berupa otak- bisa diminimalisir resikonya. Tapi kenapa pengendara yang
tidak menggunakan helm sering ditilang polisi? Padahal kan fungsi helm sudah
jelas untuk melindungi kepala, jika tidak mau memakai helm, silahkan tanggung
resikonya jika terjadi kecelakaan. Tidak usah pula ditilang.
Beberapa kali saya melihat pengendara
sepeda motor -bukan di Indonesia- tanpa menggunakan helm. Kemudian saya
bertanya kepada penduduk setempat, apakah itu tidak bahaya dan bisa ditilang
polisi. Tahukah kawan apa jawaban penduduk setempat? Mereka mengatakan bahwa
pengendara motor disini sudah tahu resikonya, bahwa berkendara tanpa helm sangat
mengundang bahaya jika terjadi kecelakaan. Tapi polisi tidak pernah menilang
perkara si pengendara tidak memakai helm. Mereka berujar kalau itu adalah
kebodohan pengendara sendiri jika mereka membahayakan dirinya. Lantas saya
masih tidak mengerti kenapa di negara saya, Indonesia tercinta yang gemah ripah
loh jinawi, apabila pengendara motor tidak mengenakan helm harus ditilang.
Jangan bilang karena ada Undang-Undangnya. Alasan seperti itu sudah basi,
laksana mading yang siap terbit.
Salah satunya adalah perempatan di
Bao’an District Shenzen, sibuk layaknya sebuah perempatan kota besar. Tak
satupun pengendara sepeda motor disini yang menggunakan helm. Jika mereka
berkendara seperti itu di Jakarta, pasti sudah kena tilang. Pengadilan pun akan
penuh karena orang akan berbondong-bondong mengantri agar surat izin
mengemudinya dikembalikan. Selain itu para calo persidangan juga akan panen
raya, karena berhasil menghasut pelanggar lalu lintas untuk dibantu proses
persidangan. Padahal di depan ruang sidang terpampang spanduk jelas dan besar
bertuliskan JANGAN GUNAKAN CALO. Entah kenapa para pelanggar dan calo itu akur
saja, andaikan saya jadi pak hakim, niscaya palu persidangan sudah bertengger
di kepala calo-calo itu. Sungguh memalukan.
###
Sebelum tiba di Bao’an District, saya
terdampar di Lo Wu border. Menumpang MTR dari Hong Kong hingga keluar di Lo Wu.
Sistem perbatasan yang praktis antara Hong Kong dan China daratan. Kawan,
janganlah bodoh seperti saya yang sering kikuk berada di perbatasan antar
negara. Padahal tinggal jalan lurus ke depan untuk mengantri imigrasi, tapi
masih saja saya melakukan stop beberapa kali demi bertanya arah menuju meja
imigrasi dan loket penerbitan visa.
Jika kawan berkeinginan mengunjungi Daratan Cina melalui Hong Kong, bisa melalui dua perbatasan antara Hong Kong dan Shenzen. Perbatasan itu adalah Lo Wu dan Lok Ma Chau. Kedua perbatasan terhubung dengan jalur MTR dari stasiun Sheung Shui. Khusus untuk stasiun perbatasan antar negara, tarif MTR yang dipatok lebih mahal daripada stasiun-stasiun lainnya. Berdasarkan informasi dari internet, imigrasi di stasiun Lo Wu buka pelayanan lebih lama daripada di Lok Ma Chau.
Pemegang paspor Indonesia masih harus
memperoleh Visa jika ingin mengunjungi Daratan Cina. Tapi mudah saja, cukup
bayar 168CNY untuk Visa on Arrival, nanti diizinkan tinggal selama 5 hari,
berlaku untuk sekali masuk dan keluar dari Shenzen. Supaya tidak kikuk seperti
saya, begitu keluar dari tap out kartu
MTR. Segera tukarkan kartu octopus jika masih ada saldo di dalamnya, lumayan
depositnya juga dikembalikan. Sekali lagi tinggal jalan lurus saja, hingga tiba
di antrian imigrasi Hong Kong. Setelah paspor diperiksa dan diperbolehkan
keluar, lanjut lurus lagi melewati jembatan. Ikuti arah orang-orang yang
berjalan, mereka semua menuju Shenzen.
Setelah melewati jembatan yang
terdapat sungai pemisah antar negara dibawahnya, maka tibalah sudah di Shenzen.
Harap diingat untuk memproses Visa dulu yang letaknya ada di lantai dua,
sebelum loket imigrasi masuk ke Shenzen. Cara mendapatkan Visa juga sangat
mudah. Tinggal isi formulir, ambil nomor antrian, nunggu dipanggil, bayar,
selesai. Waktu itu sedang sepi, jadi prosesnya cukup 5 menit beres. Berbeda
sekali ketika saya ingin masuk ke India, sejam lebih belum kelar demi
mendapatkan VoA. Tak perlu bingung ketika harus mengisi alamat tinggal selama
berada di Shenzen, kawan bisa googling terlebih dahulu salah satu alamat hotel
yang ada di Shenzen. Tinggal copy paste
ke lembar formulir. Dijamin lolos.
###
Juni 2014
Sore terakhir bersama dengan Geng
Melanglang. Kami sepakat membebaskan sore dengan acara semaunya. Kami bebas
pergi kemana saja dan harus sharing
cerita pada pesta perpisahan yang akan digelar malam nanti di rooftop tempat kami menginap di Chiang
Mai. Saya harus kembali ke penginapan sebelum jam malam, karena masa kudeta
militer di Thailand masih berlangsung.
Tinggal satu tempat lagi yang belum
saya kunjungi selama berada di Chiang Mai. Kuil Doi Suthep yang letaknya diatas
puncak gunung. Dari peta jaraknya hanya 11km, tapi menanjak. Berbekal niat
sotoy, saya sewa sepeda onthel dengan keranjang di depan stang. Tanpa tahu
medan yang akan saya tempuh nanti seperti apa.
Kawan, kira-kira begini, Doi Suthep
itu jika ada di Indonesia letaknya persis ada di restoran Rindu Alam di ujung
Puncak. Untuk menuju kesana harus saya mulai dari perempatan lampu merah Ciawi.
Dengan sepeda onthel, jangan lupa. Terbayang penderitaan saya akan seperti apa.
Saya tidak terbayang, karena waktu itu saya masih udik.
Dua kilometer pertama, tanjakan masih
sanggup saya taklukan. Walau betis sudah mulai kejang-kejang. Masuk kilometer
ketiga rasanya hidup sudah mulai sekarat, lebih banyak berhenti daripada
mengayuh. Tapi semangat ini laksana pejuang tahun empat-lima, terus berkobar.
Menuju ke kilometer keempat, banyak pesepeda balap lainnya menaruh hormat
seklaigus memberikan percikan semangat. Entah mereka berpikir apa, dianggapnya
saya sedeng atau memang nekat bersepeda onthel menuju Doi Suthep.
Kilometer keempat selesai di
paripurnakan. Saya ngaso sejenak ditepi air terjun, sambil menimbang-nimbang
apakah akan terus menuju Doi Suthep atau kembali ke penginapan. Perhitungan
waktu dan napas saya sudah mepet, apalagi jika terlambat pulang, nanti dikira
anggota pemberontak dan bisa diringkus oleh militer Thailand. Bisa runyam.
Entah pikiran darimana, saya ikat
sepeda onthel sewaan itu di pohon. Jika sampai hilang, saya akan kena denda
ribuan baht. Setelah yakin aman, selanjutnya saya berdiri di pinggir jalan,
mengacungkan jempol. Bermaksud mencoba metode hitchhike, Minta tebengan diangkut ke Doi Suthep. Tidak ada satupun
mobil yang berhenti melihat jempol saya. Hingga ada dua motor yang menghampiri.
Salah satu diantaranya menawarkan tebengan ke Doi Suthep. Saya senang bukan
kepalang.
Pengemudi motor itu bernama Jason dan Zang, turis dari Shenzen
yang sedang berlibur ke Thailand. Sore itu adalah sore terakhir mereka di Chiang Mai. Besok
liburan usai, mereka akan kembali pulang ke China. Saya ikut membonceng di motor Jason,
sementara Zang membuntuti di belakang. Bersama teman baru, Doi Suthep rasanya dekat saja.
###
Juni 2015
Shenzen
Jason tertawa terpingkal-pingkal
begitu menerima telepon saya setelah setahun lamanya. Menurut Jason meminjam telepon seseorang di Shenzen
untuk menghubungi orang lain adalah hal yang tidak lazim. Saya tidak punya
pilihan. Setelah terdampar di perbatasan Lo Wu, hanya bahasa isyarat yang
berperan. Hingga saya menemukan seseorang
yang bisa sedikit bahasa inggris dan mau meminjamkan teleponnya untuk
digunakan menghubungi Jason. Selama di Shenzen, kembali saya nebeng Jason.
Mulai dari saat itu, jika kawan
berpendapat bahwa rakyat Indonesia terlalu banyak jumlahnya sehingga susah
diatur, atau luas wilayah Indonesia yang naujubileh kepisah-pisah laut sehingga
membuat rakyat sulit diatur, maka kalian harus pergi ke Shenzen. Kita ambil
contoh Jakarta yang konon jumlah manusia yang ada diatasnya berjumlah sekitar
12 juta jiwa. Kota tercanggih dan termodern yang ada di Republik Indonesia,
tapi masih saja banyak orang brutal di dalamnya. Mulai dari belok tanpa lampu
sein hingga pengendara motornya yang bangga kalau berhasil menerabas lampu
merah. Tanpa menggunakan helm pula.
Semoga perbandingan saya bisa apple to apple antara Shenzen dan
Jakarta. Secara luas wilayah kurang lebih sama dengan Jakarta, dan secara
banyaknya jumlah penduduk juga kira-kira sama. Jikalau berbeda, mohon saya
dimaafkan. Berbekal dua kemiripan tadi,
lantas saya menarik kesimpulan kenapa Jakarta tidak bisa seperti Shenzen. Kota
besar dengan jumlah penduduk banyak namun terasa lebih tertib. Sudut kota lebih
bersih dan transportasi lebih manusiawi. Kawan, janganlah ngambek ketika saya membandingkan
ini. Justru saya merasa sedih ketika teringat Jakarta sewaktu berada di
Shenzen. Harusnya Jakarta sudah bisa lebih baik dari Shenzen.
Ada pribahasa China yang masih saya
ingat berbunyi “Menjadi kaya bukanlah sesuatu yang hina.” Sumpah, saya setuju.
Asalkan kekayaan didapatkan dengan cara yang benar dan tidak merugikan orang
lain. Mungkin saya tidak kaya secara materi, tapi saya cukup berbangga dengan
apa yang saya lakukan. Bisa melihat negara lain, tempat lain walaupun itu
gratisan. Mungkin jika pribahasa itu bisa ditambahkan akan berbunyi
“Mendapatkan gratisan juga bukanlah hal yang hina.” Biarlah, biarlah kawan,
saya memang norak anaknya.
“Menjadi
kaya bukanlah sesuatu yang hina” – Pribahasa China
Sejatinya orang mengunjungi Shenzen
adalah untuk urusan berbelanja. Jumlah pusat perbelanjaan maupun toko di
Shenzen sangat melimpah ruah. Mau membeli apa pun, ada di Shenzen. Tempat
wisata yang ramai dikunjungi seperti Window of the world dan Splendid China
Cultural Village. Tidak ada barang KW disini. Aseli semua. Barang itu akan
menjadi KW kalau sudah sampai di Indonesia. Paling banyak yang berseloroh hayahhh,
made in China. Padahal mampu beli pun
tidak.
The windows of the world are covered
with rain
@arkilos
Where is the sunshine we once knew
Everybody knows when little children
play
They need a sunny day to grow straight
and tall
Let the sun shine through
The windows of the world are covered
with rain
When will those black skies turn to
blue
Everybody knows when boys grow into
men
They start to wonder when their
country will call
Let the sun shine through
-
Burt
Bacharach –
OMG... itu kota meni bersih pisan....
BalasHapusgw bengong liat jalan lalu lintas di atasnya commuterline rail... WOW!!!
Itu Monorail bukan Commuterline. Hanya Jakarta tercinta yang punya Commuterline walau umpel-umpelan :)
Hapus