SEMBILAN belas tahun, masih muda belia sudah
jadi pahlawan devisa. Perempuan Indonesia yang saya temui sesaat sebelum lepas
landas dari bandara Brunei Darussalam. Seorang tenaga kerja dari Indonesia, panggil
saja Thoyyibah, yang masih lugu, polos, mudah ditipu dan manut-manut miturut
kalau istilah Perancisnya. Thoyyibah tak ubahnya sasaran empuk bagi bangsat
tengik tanah air yang langsung hijau matanya begitu tahu ada TKI pulang ke
Indonesia. Saya menjumpainya setelah bertandang dari Kota Kinabalu. Sabar ya
kawan, saya bawa kalian ke Kota Kinabalu terlebih dahulu, karena Thoyyibah
terlalu spesial untuk langsung diceritakan, pasalnya Thoyyibah hanya pergi
dalam dua hijriyah. Tidak seperti Bang Thoyib yang pergi gak pulang-pulang.
Masih tahun duaribu
sembilan
Ujung
Borneo itu penuh hutan dan masih tak bertuan. Alas rimbanya masih banyak
didiami suku pedalaman. Ternyata imaji yang saya bayangkan sangat berbeda
ketika saya mendarat di Kota Kinabalu. Perangai Borneo, yang saya bayangkan
dari atas peta, bubar seketika waktu roda pesawat menyentuh landasan pacu
bandara Internasional Kinabalu. Dari jendela pesawat, yang saya lihat adalah
sebuah kota moderen nun di pulau yang menjadi paru-paru dunia. Selamat datang
di KK (dilafalkan keykey) seperti yang sering diucapkan oleh orang lokal
terhadap Kota Kinabalu.
Glowie Teston seorang ibu paruh baya
berkebangsaan Filipina yang repot-repot datang ke bandara Kinabalu bersama anak
lelakinya yang bernama Juan Carlos. Sore itu JC, anak semata wayangnya diberi
mandat oleh Glowie sebagai supir. Mobil tuanya yang berwana putih laksana
angkot terparkir sudah di bandara sejak tigapuluh menit sebelum pesawat yang
saya tumpangi tiba. Saya tidak pernah sekalipun bertemu dengan Glowie dan
keluarganya. Hanya berkorespondensi beberapa kali melalui situs couchsurfing.
Saya katakan kepada Glowie bahwa saya berencana mengunjungi KK dan perlu
tumpangan menginap. Ternyata Glowie dan keluarga, tidak hanya memberikan
tumpangan menginap, tapi mereka juga menjemput saya di bandara. Keramah-tamahan
yang luar biasa.
Sus, Tante, Mbak Yu, Ibu atau Maam
sepertinya tidak pas untuk memanggil Glorina, nama aslinya. Akhirnya saya
panggil dia Kak Glo. Sambil memegang secarik kertas bertuliskan nama saya, JC
berdiri mematung disebelah ibunya. Sedangkan Kak Glo melambai-lambaikan tangan
begitu kami bertatapan. Keluarga yang hangat dan ramah. Mereka langsung menyapa
saya dan mengajak berjalan menuju mobil.
Kak Glo menjelaskan tentang KK dan
membantu membuatkan itinerary selama
saya tinggal di KK. Pemberhentian kami yang pertama adalah di Jesselton Point.
Sebuah dermaga yang disulap menjadi food
court. Kawan, jika kalian ingin menghabiskan waktu di sore hari, Jesselton
Point adalah tempat yang pas. Gerai makanan beraneka menyajikan hidangan sedap
malam yang kelezatannya meningkat dua kali karena tertiup semilir angin laut.
Biarlah saya selalu norak, karena tidak setiap hari saya bisa nongkrong di
Jesselton menikmati sepoi-sepoinya angin laut cina selatan.
Selama tinggal di KK, saya selalu
menggunakan bus. Seperti dari rumah kak Glo di area Donggongon Penampang menuju
pusat kota. Bus selalu siap sedia. Hanya tiga hari saya mengunjungi sudut-sudut
kota KK. Selebihnya saya pergi ke Ranau, menyambangi gunung Kinabalu.
Jika kawan berniat mendaki gunung
Kinabalu, bisa menumpang mobil sejenis elf tua tujuan Ranau. Tinggal infokan
sang supir, minta diturunkan di gerbang Kinabalu. Siapkan perbekalan mendaki,
karena untuk menuju puncaknya dibutuhkan peralatan lengkap dan harus membayar
sekitar 500 ringgit. Jumlah yang lumayanan untuk kresecker macam saya. Tapi kalau
hanya ingin berwisata ke Kinabalu Park, cukup membayar sekitar 15 ringgit.
Siang itu rupanya, petugas penjaga gerbang gunung Kinabalu sedang tidak
berselera menerima tamu. Dibiarkannya saya masuk area taman dengan gratis.
Harusnya untuk warga Malaysia pun dikenakan biaya 5 ringgit. Mungkin petugas
menilai wajah saya terlalu memelas bak orang kalah judi, melenggang lah saya
masuk ke Kinabalu Park. Tanpa bayar sepeser pun.
Kinabalu Park tertata rapi, suhu
udaranya adem semriwing. Jika pada masa itu lari kekinian sudah menjadi tren,
pasti sudah ada tema lari bertajuk Kinabalu Trail atau Kinabalu Ultra. Dijamin
para banci lari kekininan itu akan ngibrit sengibrit-ngibritnya mengunggah foto
selfie di puncak Kinabalu yang runcing bagaikan pensil baru selesai diraut.
###
Pulang dari gunung Kinabalu, kembali
saya mencegat bus dari Ranau menuju KK. Kawan, harap bersabar ketika berdiri
menunggu angkutan itu lewat. Tidak ada jadwal pasti kapan si elf tua itu akan
lewat. Tapi yakin saja, bahwa akan ada mobil yang mengangkut. Siapkan mental
siapkan nyali.
Sebelum petang menghadang, sebuah
mobil putih pucat setengah penyok berhenti menepi. Angkutan dari Ranau yang
saya tunggu akhirnya datang. Di dalamnya hanya ada satu penumpang wanita dari
Inggris. Jane, berkenalan dengannya dan ternyata dia juga baru turun dari
Kinabalu. Namun mencegat elf tua ini dari bawah Ranau. Saya biarkan wanita muda
itu takjub mendengar cerita saya tentang Indonesia. Saya pancing agar dia
segera mengunjungi Indonesia. Tentu saja saya ceritakan tentang yang
baik-baiknya saja. Jane tidak perlu tahu bahwa di Indonesia masih ada koruptor
dan bajingan tengik. Jane tidak perlu tahu bahwa di Indonesia menabrak orang
sampai meninggal bisa tetap bebas berkeliaran selama ada jaminan bernama uang. Jane
tidak perlu tahu bahwa rakyat Indonesia sudah terwakili oleh wakil-wakil rakyat
yang amat sangat pintar, bahkan saking pintarnya mereka, sering saya khawatir
kalau rakyat Indonesia sebenarnya sedang ditipu untuk menonton dagelan politik.
Murahan, murahan sekali.
Sukses membuat Jane terkesima dengan
indahnya cerita akan keindahan alam Nusantara, dia lalu berjanji akan
mengunjungi Indonesia. Kami berpisah di bawah jembatan penyebrangan Borneo One.
Dia pulang kampung. Saya meneruskan
perjalanan menuju Brunei.
###
Kawan pernah saya meminta kalian
membayangkan tentang Brunei Darussalam. Kini saya duduk menunggu pesawat
boarding, setelah berkelana menjelajah Brunei. Disanalah saya berkenalan dengan
Thoyyibah. Tidak sendirian, tapi dia ditemani sang majikan yang baik hati,
Thoyyibah menunggu pesawat yang sama dengan yang akan saya tumpangi menuju KK.
Majikan Thoyyibah mengenali wajah saya
tipikal mas-mas jawa. Padahal sering kali kalau saya berada di bandara
domestik, justru petugas gate yang sering kecelek. Mereka sering menganggap
saya orang bule lah, orang Jepang lah, orang Cina lah, bahkan saking siwernya,
sering mengira saya orang India. Akibat kejelian mata sang majikan, masuklah
saya ke obrolan mereka. Ujung-ujungnya sang majikan berpesan bahwa hanya bisa
menemani sampai disini dan menitipkan Thoyyibah kepada saya hingga mendarat di
Jakarta nanti. Lah eh, nah loh, kok kok.
Thoyyibah dan saya pun lepas landas
menuju KK. Ketika transit di KK, kembali bagasi Thoyyibah harus ditimbang
ulang. Ternyata bagasi dia kelebihan muatan. Harus dikurangi atau akan kena
denda. Saya tanyakan si Thoyyibah yang lugu itu, membawa apa sajakah gerangan.
Ternyata barang-barang yang dibawa Thoyyibah selain kain-kain untuk oleh-oleh
keluarganya di Indramayu sana, juga membawa banyak sekali sabun batangan.
Kawan, sekali lagi sabun batangan.
Melihat banyaknya sabun batangan di
dalam koper Thoyyibah, hampir tidak percaya bahwa saya adalah penghuni negara yang
sama dengan Thoyyibah. Sambil berfikir, apa iya di Indonesia tidak ada sabun
batangan. Seingat saya, Ida Iasha, Sophia Latjuba, Feby Febiola hingga Dian
Sastrowardoyo sering kali keluar masuk kamar mandi tempo hari di layar kaca demi
memperagakan cara menggunakan sabun batangan. Jadi saya yakin bahwa di
Indonesia ada yang namanya sabun batangan. Wahai Thoyyibah, kenapa kamu banyak
sekali membawa sabun?
Lantas saya tawarkan agar Thoyyibah
membuang sabun batangan itu atau menitipkan sebagian di jatah bagasi saya, yang
memang masih lowong. Saya katakan kepada Thoyyibah bahwa jangan sekali-kali
menitipkan benda apapun kepada orang lain selama diperjalanan. Baik itu benda berharga
ataupun hati yang lowong. Eaa.
“Jangan
pernah sekalipun dititipi atau menitipkan barang kepada orang lain ketika
berada di bandara. Apalagi menitipkan barang berharga seperti paspor dan
dompet, kedua benda itu laksana nyawa cadangan sewaktu di negeri orang.”
Thoyyibah setuju, daripada di buang, akhirnya beberapa sabun batangan itu berjejalan di tas saya. Wangi-wangi lah semua. Jika ada kontes orang terlugu pasti Thoyyibah sudah jadi juara. Dengan enaknya dia memberikan tas berisi dompet dan paspornya kepada saya, sewaktu kami menunggu untuk boarding di KK. Ketika saya tanya isinya apa, dia hanya menjawab tanpa dosa bahwa isinya paspor dan dompet, minta dititip sebentar karena ingin pergi ke toilet.
Oh Thoyyibah, saya damprat dia sampai
gemetaran. Saya katakan padanya untuk tidak sekali-kali menitipkan paspor dan
dompet selama berada di luar negeri kepada orang lain. Apalagi orang yang baru
dikenal kurang dari dua jam. Seperti barusan menitipkannya kepada saya. Bagaimana
jika saya berbuat jahat. Bagaimana jika saya kabur membawa tas itu. Tas berisi
tiket, paspor dan dompet berisi uang hasil jerih payah selama bekerja menjadi
TKW. Apa jaminannya saya tidak berbuat
hal itu?
Thoyyibah yang malang hanya diam
tertegun, sedikit gemetar entah menahan pipis atau shock macam baru kena marah majikan. Thoyyibah berkata lirih, masa
mas mau bawa pergi tas saya. Kawan, jika kalian ada disana, saya yakin predikat
manusia terlugu akan jatuh pada sosok Thoyyibah.
Saya katakan baik-baik agar dia
membawa tas nya dan saya akan tunggu disini. Jaga baik-baik itu tas karena itu
adalah nyawanya. Thoyyibah hanya mengangguk-angguk sekembalinya dari toilet
demi mendengar penjelasan saya. Mulai dari bagaimana cara check-in, kegunaan
paspor dan tidak begitu saja dengan mudah menitipkannya.
###
Thoyyibah lalu menceritakan kisah hidupnya.
Waktu usianya 17 tahun ada seseorang yang datang ke rumahnya dan menawari
bekerja sebagai TKW. Menurutnya itu lebih baik daripada dia harus bekerja
menjadi pelacur. Diuruslah dokumen kepergian Thoyyibah menjadi seorang Pembantu
di negeri seberang.
Untuk mengurus dokumen paspor dan
perizinan kerja, semuanya gratis. Gratis ala-ala. Sejatinya adalah Thoyyibah
tidak mendapatkan gaji selama 6 bulan bekerja. Karena gajinya digunakan untuk
mengganti biaya pengurusan dokumen dan tetek bengek lainnya. Kawan, jika saat
itu Thoyyibah mendapatkan gaji seharusnya 4 juta rupiah per bulan, maka
lenyaplah upah keringatnya senilai 24 juta demi sesuatu yang bernama perizinan
dan remeh-temeh lainnya. Baru setelah itu Thoyyibah bisa merasakan uang hasil
keringatnya. Entah bagaimana manajemen keuangan Thoyyibah hingga dia
menyelesaikan pekerjaannya secara paripurna di negeri orang. Berbekal sepotong
tiket kembali ke tanah air, Thoyyibah merasa telah rampung menjalankan misinya.
Rampung menjadi pesuruh, rampung bekerja yang tak elok rasanya jika diceritakan
tentang bagaiamana kerasnya dia bertahan, demi mengumpulkan uang.
Ketika kami mendarat di Jakarta, saya
menjadi geram. Geram teramat sangat. Bukan kepada Thoyyibah, tetapi kepada
penjemput Thoyyibah yang sudah menunggu seolah ingin merebut rupiah hasil kerja
si Thoyyibah berbulan-bulan.
Awalnya saya curiga ketika paspor saya
di periksa oleh Imigrasi, sempat dikira saya seorang buruh yang baru pulang dari
luar negeri, musababnya Thoyyibah mengekor mengantri dibelakang saya. Karena
paspor saya dirasa normal dalam tanda kutip, tidak ada hal suatu apa, maka saya
menjalankan ritual per-imigrasian secara biasa. Selesai cap masuk negara
dibubuhi di lembaran paspor, saya menunggu Thoyyibah di ujung area imigrasi.
Giliran Thoyyibah diperiksa, sang
penjemput Thoyyibah menyeruak ke depan meja Imigrasi. Seorang pria berjaket
kulit hitam, seolah menghadang Thoyyibah demi meminta jatah. Entah bagaimana
caranya orang itu bisa masuk ke area Imigrasi. Setahu saya, ini daerah steril.
Begitu Thoyyibah selesai diperiksa,
saya panggil Thoyyibah untuk mengikuti saya menuju ban berjalan untuk mengambil
kopernya. Bukan apa-apa, sebagian sabun batangan miliknya masih berada di tas
saya. Harus saya kembalikan.
Si Penjemput Berjaket Hitam itu pun
sewot. Dia merasa tidak rela buruannya dimangsa orang lain. Si Penjemput
berpikir bahwa saya telah mempengaruhi Thoyyibah dan ingin menipunya. Kurang ajar
betul. Thoyyibah bingung, kemana dia harus percaya. Saya katakan pada Thoyyibah
agar tetap mengikuti saya ke ban berjalan untuk mengambil sabunnya lalu
menelepon kakaknya yang akan datang menjemput. Saya berikan handphone saya agar
dia bisa menghubungi kakaknya. Si Penjemput makin sewot, sedikit dia membentak saya.
Saya hardik kembali si Penjemput itu.
Seraya berkata, kalau saya berniat jahat kepada Thoyyibah, sudah saya lakukan
dari tadi sejak di KK. Saya tanyakan kepada si Penjemput, dia darimana dan apa
urusannya dengan Thoyyibah. Ternyata si Penjemput sedikit ciut. Dia mengaku
datang dari agensi dimana Thoyyibah dulu berangkat, dan dia datang dari
Indramayu bersama kakaknya demi menjemput Thoyyibah.
Saya tegaskan kepada si Penjemput,
bahwa majikan Thoyyibah menitipkannya kepada saya hingga dia bertemu kakaknya.
Jadi saya tidak perduli siapa pun, hingga Thoyyibah paling tidak berbicara atau
bertemu dengan kakaknya. Si Penjemput pun gelisah marah-marah.
Di ujung telepon terdengar suara
seorang pria lainnya, saya berikan telepon kepada Thoyyibah agar dia berbicara.
Jika benar kakaknya, maka tuntas sudah amanah sang majikan yang saya emban.
Kakak Thoyyibah ternyata sudah terjerat juga dengan sistem yang digunakan oleh
si Penjemput. Dia datang dari Indramayu menggunakan mobil elf dengan
mengeluarkan biaya 1,5 juta rupiah demi menjemput sang adik.
Saya kembalikan sabun titipan kepada
Thoyyibah. Rasanya dia sudah ingin menangis karena harus mengikuti alur si
Penjemput. Saya geram bukan kepalang. Betapa bobroknya mental orang yang dengan
gembira merugikan orang lain. Terbayang dihadapan saya, Thoyyibah bersama
thoyyibah-thoyyibah lain yang baru mendarat dikumpulkan jadi satu. Jongkok
tertunduk-tunduk di bandara, menunggu entah akan dieksekusi macam mana. Saat
itu, rasanya pasal-pasal di UUD 1945 yang saya hapalkan sejak jaman SD hanya berupa
barisan kalimat tidak sakti dalam buku saku. Pasal itu tunduk di bawah ketiak si
Penjemput, yang sudah berkongkalingkong dengan oknum-oknum demi menguras jerih
payah Thoyyibah. Disitu kadang saya merasa sedih.
@arkilos
toyyibaaah..sediiiih..menyedihkan
BalasHapusMakanya wi, jangan galak-galak ya ama ART. Sering-sering diajak jalan-jalan hehe
Hapusadegan lu ama Thoyyibah keren banget kayak di "sweet november" the movie.
BalasHapustanjung aru, KK mosque and especially track to the kinabalu Park, begitu damai . cucok buat menyendiri dari hingar bingar kota.
Waktu itu kejadiannya emang di bulan November. Abis Idul Adha 2009 kalo gak salah. Will re-visit Kinabalu next time.
HapusThoyibbah semoga hasil jerih payahmu bisa jadi sesuatu yang bermanfaat ya, tidak lantas habis oleh kebutuhan-kebutuhan konsumtif keluargamu di kampung.. *baca sambil nangis,, kinabalu nya ke skip, yang berkesan cerita human interest-nya si thoyyibah sama pujian lo pada wakil rakyat kita yang terhormat, hahaha
BalasHapushahaha.. sayangnya gw tidak merasa terwakili dengan wakil-wakil rakyat sekarang :(
Hapus