HASRAT menggebu-gebu di akhir pekan demi melihat air terjun. Air yang terjun bebas rasanya mewakili suasana hati yang sedang gundah gulana, dilema galau perkara ditinggal pergi calon bini. Peringatan! Air terjun hanya untuk dilihat saja, jangan sampai ikutan terjun. Bisa runyam.
Jaman SD pernah saya dijelaskan
tentang air yang mengalir dari sumber mata air di gunung hingga bermuara di
laut. Selewat saja. Baru lantas belakangan ini ingin sekali melihat hulu air
nun di puncak gunung sana, atau minimal air terjunnya. Doa saya terkabul, ada
Rombongan Remaja Setengah Baya ibukota yang berencana mengunjungi Ciletuh di
Jawa Barat. Konon di Ciletuh banyak sekali ditemukan air terjun. Saya ikut
Rombongan Remaja Setengah Baya itu. Berburu air terjun.
Berlandaskan azas Pergi
Murah Pulang Selamat, kami menyewa sebuah mobil carteran kapasitas sepuluh
kursi menuju Cibadak Sukabumi. Harga yang di banderol oleh sang empunya mobil
adalah dua juta rupiah, sudah termasuk tetek-bengek segala ongkos toll, parkir,
bensin, jasa supir, tips supir, bebas nyasar, tapi tidak bebas macet. Pergi
pulang. Menjelang tengah malam kami bertolak menuju Cibadak.
Akhir pekan baru saja lewat
dua jam ketika mobil sampai di Cibadak. Di sana telah menunggu sebuah Land
Rover tahun 70-an yang
siap menggantikan peran mobil carteran menuju Ciletuh. Mobil ini akan setia
bersama kami selama dua hari ke depan menjelajah hutan dan perbukitan di
Ciletuh, menemani berburu air terjun.
Tengah malam budeg itu kami
lalui bagaikan mimpi buruk terkonclang kanan-kiri di dalam Landy, panggilan
kesayangan kami untuk si Land Rover. Jalanan yang dilalui dari Cibadak menuju
Ciletuh hanya tiga setengah jam saja. Artinya selama itu pula lah kami akan
tidur-tidur tahi ayam sambil terpental-pental perkara jalanan berlubang selebar
tempayan.
###
Kontur tanah di kecamatan Ciemas memang sudah sejak dulu terjal seperti itu. Saya taksir,
perkara internet-lah
yang menjadikan kontur tanah di Ciemas menjadi sorotan. Entah siapa yang duluan
mengunggah air terjun dan patahan di kecamatan Ciemas. Walhasil sedikit demi
sedikit, unggahan foto air terjun di Ciletuh, menjadikannya tenar.
Kawasan Ciletuh yang sekarang berusaha go internesyenel dengan membubuhi nama
belakangnya dengan Geopark. Kawan, rasanya di zaman yang serba kekinian seperti
sekarang ini, jika kalian belum bertandang ke Ciletuh Geopark dan melakukan wefie alias foto rame-rame, niscaya
kekinian kalian patut dipertanyakan. Sedih memang, sayangnya kami juga
melakukannya. Biarlah, kami memang begitu anaknya.
Mendung menggantung ketika
kami berada di Panenjoan. Sebuah areal di atas patahan Ciletuh plateau yang
langsung menghunus ke arah pantai. Jurang menganga lebar sedalam 300 meter
dengan rentang berbentuk huruf U yang saya kira panjangnya lebih dari 10
kilometer, menggelorakan semangat untuk melihat lebih dekat seperti apa air terjun yang keluar dari
sela-sela patahannya.
Tujuan pertama kami Curug
Awang. Walau hujan turun deras, bukanlah masalah. Kami berpedoman pada
teknologi canggih, jas hujan. Rupanya di musim penghujan tabiat Curug Awang
benar-benar perkasa. Dia menggelontorkan seluruh aliran agar air bisa terjun
bebas dari segala penjuru. Kawan, jangan sekali-kali mencoba bermain pancur
pada saat air terjun sedang berada di musim penghujan. Ini sekedar nasehat
saja.
Semakin tinggi dan deras
debit air yang terjun, semakin deras dan tinggi pula air yang memercik. Curug
Awang tahu betul bagaimana memesonakan orang-orang yang melihatnya. Percikan
air di Curug Awang sekonyong-konyong membentuk lengkungan pelangi. Curug Awang
boleh jadi merupakan tempat turunnya bidadari yang perosotan dari khayangan
melalui pelanginya. Ketika bidadari mandi, maka si Jaka Tarub mengambil
selendangnya. Meminjam kisah Jaka Tarub tadi, kira-kira saya harus mengeceknya,
mungkin masih ada bidadari
di bawah sana.
Bidadari tidak ada, yang
ada di bawah Curug Awang adalah buledari. Canada punya. Bersama dengan si
buledari tadi, kami
basah kuyup terkena percikan air terjun yang terpantul-pantul setelah
menghempas batu. Percikannya menghasilkan lengkungan pelangi. Indah tak
terperi.
###
Hujan semakin deras di Ciletuh. Landy
mengerem berdecit menuruni jalan terjal menuju Curug Sodong. Dari kejauhan
Curug Sodong sudah terlihat menggoda. Semakin dekat, semakin kami bersemangat untuk menyapa
Curug Sodong. Rupanya pemandu kami di Ciletuh sudah tahu betul bagaimana harus
memarkir Landy dengan pose pas
di bawah Curug Sodong. Siang itu hanya rombongan kami yang bersua dengan Curug
Sodong.
Debit air Curug Sodong
sedang meriah-meriahnya. Di tengah Curug Sodong ada sebongkah batu yang entah
bagaimana bisa tersangkut pas di tepian. Ibarat telur di ujung tanduk, batu itu
bertahan sekuat tenaga menahan kerasnya dorongan air Curug Sodong. Gigih, gigih
sekali.
Kawan, jika kalian
bertandang ke Ciletuh dan tidak menggemari nuansa alam dan air terjun, saya sarankan
lebih
baik tidak
pergi kesana. Jika jiwa-jiwa kalian memilih
menyukai pusat perbelanjaan daripada menontoni aliran air yang sering dianggap sebagai kegiatan bikin-capek-badan, sekali lagi, tidak
perlu ke Ciletuh.
###
Landy kembali meraung-raung menaiki
bukit ketika keluar dari Curug Sodong. Kami meluncur menuju pantai yang
berbentuk tapal kuda. Pantai itu melengkung
nyaris menyerupai huruf U sempurna. Jalanannya tidak usah dirisaukan, masih
lubang selebar tempayan mengangga gembira. Kami ajrut-ajrutan di tepi pantai.
Di ujung jalan, Landy
menepi di sebuah warung. Kami rehat sejenak mencicipi gorengan pisang. Ternyata
di balik warung itu ada jalan setapak menuju Curug Cimarinjung. Melewati
pematang sawah dan melompati pinggiran irigasi kami tiba di Curug Cimarinjung.
Entah bagaimana semua air
itu bisa mengucur deras bak bendungan Katulampa di musim penghujan yang siap
membanjiri Jakarta. Rasanya Curug
Cimarinjung saat itu agak menyeramkan juga. Debit air sangat ganas bergelora.
Berbekal pisang goreng sebagai pengganjal perut, kami nekat mendekat ke arah
dua batu besar yang menjadi ciri khas Curug Cimarinjung. Hanya demi mengabil
secuplik-dua cuplik gambar di tengah intensitas air yang begitu bergemuruh.
Kami memang begitu anaknya. Kekinian sekali.
###
Sempat kami berdiskusi apakah kami
akan langsung menuju Puncak Dharma atau harus kembali ke homestay. Saat itu, posisi kami di Curug Cimarinjung sudah dekat jika ingin
mendaki ke Puncak Dharma. Puncak Dharma adalah sebidang tanah dimana bisa
mengamati lengkungan pantai berbentuk tapal
kuda dengan gegap gempita.
Penuh pertimbangan, kami putuskan naik ke Puncak Dharma saat itu juga.
Semua bersiap di dalam
Landy, karena setelah ini akan ada
guncangan dahsyat untuk menuju Puncak Dharma. Roda Landy berputar bergerak pelan, merangkak naik ke
bukit terjal di hadapannya. Kami berpegangan pada apa saja yang bisa di raih.
Teraduk-aduk di dalam Landy.
Guncangan hebat lumayan
membuat punggung, pundak dan bokong bermanuver sembarangan. Landy menikung ke
kiri, kami terhempas ke kanan. Landy menukik ke kanan, kami miring ke kiri. Terpental-pental
sesuai besaran batu nan terjal yang berhasil diterjang. Hingga bunyi merepet
dan teriakan keras semua penumpang. Landy berhenti total. Terjerembab dalam
kubangan lumpur. Posisi miring, sungsang di tengah jalan. Kami semua melompat
keluar.
Sang Pemandu menyarankan
agar kami terus mendaki menuju Puncak Dharma dengan berjalan kaki. Landy harus
dikeluarkan dari dalam lumpur. Kami meninggalkan Landy, mendaki mengikuti gemericik jejak air
yang membentuk aliran jalan setapak. Semakin keatas, batu semakin terjal,
hingga kami tiba di Puncak Dharma.
Selayaknya adegan tiba di
puncak gunung, tidak ada lagi aktivitas lain selain mengabadikan momen-momen
sepuasnya. Diatas Puncak Dharma kami
waswas. Landy tak kunjung menyusul. Terpaksa kami turun kembali menengok nasib
Landy.
Landy masih terjerembab
seperti sedia kala. Beramai-ramai kami dorong Landy agar terbebas dari jerat
kubangan lumpur. Berat sekali. Semangat bersatu mendorong Landy berhasil
memisahkan roda dengan tanah berlumpur. Landy terseok-seok meluncur kembali.
Mempertimbangkan aral
terjal dan keselamatan,
kami biarkan Landy menuju Puncak Dharma tanpa muatan. Kami mendaki lagi untuk
kedua kalinya menuju Puncak Dharma. Bahagia rasanya.
@arkilos
*Tips Ciletuh ala-ala:
1. Cari angkutan apapun sampai di Cibadak Sukabumi. Tentukan
tempat janjian, bisa di depan RS, Ruko, Pom Bensin, Kantor Polisi. Pilih tempat
ramai karena Landy akan menunggu dini hari.
2. The more the
merrier. Pergi rame-rame lumayan hemat, patungan karena sewa Landy dua hari
semalam plus akomodasi bisa habis sekitar 4 juta-an.
3. Mau coba tanpa Landy menyusuri Ciletuh. Silahkan saja.
Siap-siap jika as roda patah.
4. Bawa air minum minimal seliter setiap orang. Di Ciletuh
ada mini market, santai.
5. Pastikan segala gadgets yang mendukung fungsi kamera
sudah terisi baterai penuh, dan dilindungi anti air. Bakalan basah.
6. Peralatan
renang silahkan dibawa, jika beruntung bisa lah se-celup dua celup di air
terjun sana.
7. Sensasi mengunjungi di musim hujan, debit airnya
deras, warna air coklat. Tidak disarankan renang.
8. Berkunjung di musim tidak hujan, debit airnya sedikit,
warna air jernih. Tinggal pilih waktu yang pas sesuai selera.
Medannya super... untuk si Landi kokoh ya hehehe. Baru tahu ada banyak air terjun yang belum terlalu populer di Sukabumi. Nice shae. Bisa jadi wishlist selanjutnya nih ^^
BalasHapusTerima kasih, silahkan mampir ke Ciletuh. Kalau dari Jakarta dekat saja. Air terjun dan pemandangannya masih asik. Semoga tahun-tahun ke depan makin baik dan malah bukan jadi banyak sampah. Ngeri juga tempat wisata di Indonesia, makin keren jadi makin banyak sampah :(
HapusMari lestarikan lingkungan.
Ohmigot.... itu waterpol so ciamik and byutipul....
BalasHapusitu badan gak memar2 kena si landi ya Kun?
Pundak ama Bokong yang pegel. Bergeronjalan. Tapi seru :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusMas Ari bisa minta no hp mo tanya2. (Mycko, Jakarta)
BalasHapusHi Mycko. silahkan email ke straaljager84@gmail.com nanti sekalian saya kasi no hp. tks :)
Hapus