FERRY jurusan Macau sibuk melego jangkar
setelah merapat di Shekou Port Shenzen. Padahal masih tersisa dua hari untuk
tinggal di Shenzen, sebelum petugas imigrasi mendeportasi secara paksa perkara
masuk ke Cina Daratan hanya berbekal Visa
on Arrival. Dalam pada itu, persediaan sempak portabel juga sudah menipis,
mau tidak mau harus segera hengkang. Berharap akan menang judi di Macau nanti.
Saya
tidak pernah tahu dan tidak mau tahu apa urusannya Malin Kundang durhaka
terhadap ibunya. Hanya saja yang saya dapatkan dari ceritera hikayat rakyat
bahwasanya sang Malin Kundang malu karena ibunya masih miskin sedangkan dia
sudah terlanjur tajir melintir. Apalagi di depan istrinya, Malin Kundang merasa
gengsi sepenuh hati diakui sebagai anak dari seorang gembel yang menunggu nun
di pesisir pantai selama bertahun-tahun. Lantas dimana letak tragisnya, pun
saya dicekoki cerita bahwa sang Malin meludahi, memukul, mencaci dan
menelantarkan ibunya hingga sang ibu geram bukan kepalang. Meluncurlah serapah
dari mulut sang ibu, sumpah maut yang menjadikan Maling seonggok batu dengan
pose bersujud seolah meminta ampun. Nasi telah menjadi bubur, bubur pun enak
dimakan.
Kawan,
pernahkan kalian menerka-nerka kemana Malin Kundang selama pergi dari kampung
halamannya. Ke Jakarta? Kayaknya gak mungkin deh. Nah, itulah yang belum pernah
diceritakan kepada saya. Sepengetahuan saya, Malin Kundang hanya pergi ke suatu
tempat, kemudian berlayar dan tanpa sengaja singgah di kampungnya lagi, hingga terjadi
peristiwa diatas, lantas dia dikutuk sang ibunda. Lagian, kenapa juga saat itu
istrinya merengek-rengek minta minum air kelapa di pulau depan. Padahal ngidam
juga nggak, kalau gak kepingin minum
air kelapa niscaya kapal tidak akan merapat, lalu Malin Kundang tidak bertemu
ibunda, dan kemudian tidak jadi dikutuk. Sudahlah, nasi telah menjadi bubur, bubur pun enak
dimakan, bang cakwenya tambah!
###
Ketika
saya tiba di Macau, saya jadi menduga-duga jika Malin Kundang dulunya pernah
kesini juga. Main judi hingga menang dan menjadikannya kaya raya. Berjudi
siang-malam, pagi-sore. Tidak ada yang tidak mungkin di Macau karena hidup
hanyalah sepelemparan dadu.
Macau
Ferry Port sibuk dengan berbagai kapal yang hilir mudik menaikkan dan
menurunkan penumpang. Berbagai papan petunjuk dengan tiga bahasa berbeda,
menyambut siapa pun yang datang. Bahasa Mandarin, Inggris dan Portugis. Saya
lipat kacamata riben dan menyangkutkannya di kerah kaos, mengikuti alur keluar
pelabuhan. Biar keren saja.
Imigrasi!!
Oh betapa nikmatnya jadi pejalan. Dimana pun selalu ketemu imigrasi. Mulai dari
imigrasi yang menanyakan hal remeh-temeh hingga imigrasi yang bekerja efisien,
seperti di macau ini salah satunya. Sesuai pribahasa china waktu adalah uang, efisiensi
adalah kehidupan. Lantas mengapa di negara saya, Indonesia tercinta, masih saja
banyak orang membuang sampah sembarangan.
“Time
is money, efficiency is life”
–
Peribahasa Tiongkok
Lepas
dari pelabuhan, sudah banyak sekali bus mewah besar berderet-deret mengantri.
Mereka akan membawa penumpang sesuai gambar hotel yang tercetak di tubuh bus.
Saya pilih bus dari hotel Venetian, karena dari tampilannya paling mewah. Ah,
baru naik bus saja rasanya sudah sangat berkelas. Cita rasa internesyenel.
Kursi bus besar dan lega, saya ambil posisi tengah
mepet jendela. Supaya bisa melihat pemadangan kota Macau. Duduk pun tak tenang,
mengira-ngira berapa ongkos bus mewah ini hingga sampai di Venetian.
Celingak-celinguk saya menunggu kenek bus lewat. Tapi hingga sampai di
Venetian, tak ada kenek macam di Kopaja P20 Jakarta yang meminta ongkos secara
paksa. Alamak, ini bus gratis. Semua bus bergambar hotel di Macau gratis.
Sungguh Macau menyambut saya. Seorang gratisan nun dari negeri seberang.
Kacamata
riben kembali bertengger di depan mata ketika turun dari bus. Biar keren saja.
Saya lipat kembali ketika sesaat memasuki pintu hotel Venetian. Seperti kurang
kerjaan pasang-lepas kacamata diulang-ulang. Doorman hotel Venetian menyambut ramah, membukakan pintu tanpa
pandang bulu. Apakah si kaya atau si miskin yang bertandang ke hotel. Si hitam
atau si putih, tidak ada sedikitpun dari mimik wajah mereka yang menunjukkan
rasisme. Rupanya petugas hotel Venetian paham betul akan istilah don’t judge a book by its cover. Mereka
berpegang teguh pada prinsip silahkan datang ke hotel kami, silahkan berjudi
sepuas hati, silahkan hamburkan uang kalian di sini tak perduli kalian masih
muda atau sudah tua, seorang penyandang cacat atau bukan, laki-laki atau
perempuan, banci sekalian, berpakaian modest
atau gembel ala-ala, heteroseksual, penyuka sesama jenis atau biseksual
sekalipun, beragama atau tidak, multi agama juga boleh, kami tidak perduli.
Sekali lagi silahkan berjudi. Oh, bang Rhoma jangan pernah menyetel lagu judi
di Macau, karena saya yakin lagu itu akan sumbang di tanah Macau.
###
2006
Gent, Belgia
Terbirit-birit
saya mengejar sampan untuk keliling Gent. Hari ini akan ada eksekursi
bangunan-bangunan tua sepanjang pesisir kanal. Saya harus membuat laporan
tentang beberapa bangunan tua yang sudah bertengger di kota Gent bahkan sejak
zaman Nyonya Menneer baru belajar berdiri. Jika di Italia ada Venesia dengan
kanal-kanalnya yang memesona, maka di Belgia ada Gent yang serupa. Kota pelajar
dengan ratusan kanal menggurita ke segala penjuru, memikat siapa pun yang
berkunjung ke Gent. Hiasan pot-pot bunga di sepanjang birai sungai, semarak
asri berwarna-warni.
Entah
kebahagiaan macam apa yang dianut warga Gent, mereka semua selalu tersenyum
sepanjang hari. Terutama orang-orang tua di Gent, mereka laksana tak memiliki
masalah berarti. Setiap kali kami melintasi jembatan kanal, mereka selalu
melambaikan tangan, tersenyum kepada sampan-sampan seolah tiada bosan.
Kawan,
waktu itu saya masih udik, seorang mahasiswa ala kadarnya yang menumpang hidup
dari dana beasiswa. Untungnya tidak sampai kelaparan menahan lapar demi membeli
sepotong roti. Tapi berada di Gent, sungguh membuat hidup lebih bahagia. Jika
kawan pernah merasa bahagia, kurang lebih seperti itu yang saya rasakan. Jika belum pernah merasa bahagia, apa yang boleh saya tawarkan adalah
coba pergi ke tempat lain. Sendirian kalau perlu, lalu ceritakan kembali
setelah pulang. Jika kawan tidak tahu ingin tujuan mana, bisa coba berkunjung
ke Gent. Pasti ciamik.
###
2015
Macau
Begitu
saya buka pintu hotel Venetian, wewangian mewah langsung tercium. Entah berapa sprayer yang disiapkan di sudut-sudut hotel untuk
menyemprotkan wewangian. Saya pun yang belum mandi, langsung terasa segar.
Andaikan ada sofa nganggur di selasar hotel, pasti saya sudah jatuh tersungkur
tertidur.
Tidak
perlu saya gembar-gemborkan semewah apa interior hotel Venetian. Berada di
dalamnya, rasanya sedang berada dalam kepungan emas. Mahal, mahal sekali kawan.
Keramahan petugas yang langsung sigap memberikan penjelasan ini itu dan
rangkaian peta berisi petunjuk menuju casino, toilet, bank, dan kanal-kanal
berisi sampan.
Venetian
mengingatkan saya kembali tentang kenangan lebih dari sepuluh tahun silam,
ketika saya masih udik. Mengejar sampan keliling kota. Kali ini, hotel Venetian
seolah membantu melepas rindu menjelajah kota penuh kanal. Walau kanal buatan,
tidak mengapa, dahaga rindu kampung eropa sedikit terobati.
Jangan
sekali-kali mengambil foto di area berjudi. Salah-salah bisa kena denda lumayan
karena dikira berbuat curang. Berhubung dibesarkan dengan simbol-simbol
permainan capsa, membuat saya tidak terlalu gaptek untuk urusan judi blekjek.
Tries, Flush, Straight Flush, Polo, Pair dan sebagainya seolah diujikan dalam
ajang ujian negara di kancah judi Macau. Bring
it on!
###
Pernahkan
kawan melihat Zaenab meniup aroma kopi tapi tidak di tanah betawi? Kenal kan
dengan Zaenab yang naksir si Doel. Berhubung si Doel menikah dengan Non Sarah
dan pergi ke Belanda, rupanya Zaenab tak mau ketinggalan. Sesekali saya melihat
Zaenab asik ngopi dengan latar belakang reruntuhan bangunan tua. Baru
belakangan bahwa saya tahu kalau Zaenab ngopi di depan reruntuhan gereja St.
Paul di kota Macau. Saya mengetahuinya sebab ketika saya berjalan di sekitar
Senado Square, terlihat bangunan yang mirip-mirip dengan latar belakang tempat
si Zaenab ngopi. Ternyata betul. Sama persis.
Kalau
dilihat dari sudut si Zaenab ngopi, saya taksir dia berdiri di Mount Fortress
yang ada persis bersebrangan dengan reruntuhan St. Paul. Memang di sana ada
sebuah benteng peninggalan dari zaman Portugal gigit besi yang masih menyimpan
meriam-meriam besar ala si Jagur di kota tua Jakarta.
Tahukah
kawan sebenarnya sebelum si Zaenab ngopi, dia terlebih dahulu mengudap eggtart
yang konon paling khas se-negara Macau. Tapi sengaja eggtart-nya tidak
diperlihatkan karena terlalu enak untuk dibagi-bagi. Tapi jangan khawatir, saya
telah mencobanya dan setuju bahwa eggtart Macau memang juara.
###
Macau
terlalu berambisi menjadi kota judi. Obsesinya luar biasa untuk mengundang
penjudi dari manapun untuk bertaruh. Di Macau tidak ada pertaruhan yang haram,
semuanya halal. Dalam artian semua pihak mendukung. Judi seakan sudah mendarah
daging, menjadi urat nadi kehidupan. Siapa saja yang datang ke Macau tidak
harus disuruh berjudi, tetapi untuk mencoba judi di Macau dipersilahkan.
Peluang menang terbuka lebar, peluang bangkrut pun selalu mengintai. Fifty
fifty.
@arkilos
Mt. Fortress picture yg paling kusuka. tapi kenapa lu hitam pas nyetir boat?
BalasHapusItem karena kebanyakan main di sungai :)
Hapus