LEMPENGAN besi berdecit beradu
dengan keramik. Ada beban berat diatasnya yang bertumpu bertopang kaki,
menjadikan jarum pengukur berhenti di angka 90. Kalau angka 90 tadi boleh
memakai nama keluarga, angka itu bernama belakang Kilogram. Timbangan badan
yang merasa pengap ketika sang majikan menginjaknya, hanya bisa berkeluh kesah,
kapan dirinya akan terbebas dari nestapa.
Agustus 2014
Jawa Timur, Indonesia
Putus
asa atau asanya putus. Sebenarnya apa itu asa, kok sampai segitunya
diputusin. Menurut kamus, asa adalah
harapan. Lantas kenapa asa harus putus dan harapan harus patah. Putus asa dan
patah harapan, kenapa tidak patah asa dan putus harapan. Terserah. Silahkan
ditanyakan pada ahli bahasa, karena lebih baik menyambung asa dan harapan
daripada memutusnya. Menambah semangat menambah energi.
Ketika
berada di Kalimati, sebelum hutan Arcopodo di gunung Semeru, badan saya terasa
segar sumringah. Tidak sabar ingin segera melihat Mahameru, puncak dari gunung
Semeru, tempat berkumpulnya para dewa-dewa seperti kisah yang diceritakan pada
saya. Dari beberapa riset kecil-kecilan dan bertanya pada pendaki yang baru
turun dari Mahameru, waktu yang ditempuh untuk sampai keatas adalah sekitar 5-8
jam. Tergantung kondisi badan dan apakah Mahameru ingin secepat itu dilihat
oleh para pendakinya. Saya manggut-manggut saja.
Tidur
lebih awal didalam tenda, berselimut gemuruh badai angin di Kalimati. Tenda
yang saya tempati, laksana kapal oleng yang terombang-ambing ombak. Jika tidak
ada pemberat manusia didalamnya, dan pasak kuat yang menghujam ke tanah, niscaya
pasti dia sudah terbang dibawa badai. Saya tetap erat memejamkan mata,
menyimpan energi untuk menyeruak hutan Arcopodo. Nanti, tengah malam nanti.
Untaian
doa mulai terdengar lepas tengah malam. Para pendaki berkumpul dengan regunya
masing-masing, menyusun strategi menuju Mahameru. Para pendaki saling meriung
memanjatkan keselamatan yang diakhiri koor Amin panjang. Saya dan rekan-rekan
pun melakukan hal yang sama. Kami mulai melangkah masuk ke dalam rimbunnya
Arcopodo.
Malam
nan pekat tertutup rimbunnnya arcopodo, mulai terkuak ketika tumbuhan tak lagi tumbuh
tinggi-tinggi. Ternyata banyak sekali bintang berserak diangkasa, memantulkan
sedikit cahaya ke belukar Arcopodo. Bukan sembarang belukar, walau gelap
temaram sekalipun, saya masih bisa mengenali Edelweiss yang tumbuh subur di
kaki Mahameru. Bunga abadi itu menyambut kami para pendaki sebelum tiba di kaki
Mahameru. Saya terbuai, saya terpana, terus mengarah keatas, tanpa sadar bahwa sejatinya
saya telah tersesat.
Patokan
cahaya bintang dan kelap-kelip senter pendaki lain yang berada di kejauhan
ternyata menipu. Sudah hampir satu jam saya terpisah dengan grup saya. Tahukah
kawan apa yang mungkin saya lakukan. Saya hanya bisa menunggu. Berharap
rekan-rekan saya segera melintas di jalur yang saya lewati.
###
Lebih
dari setengah jam saya hanya duduk tepekur memegang botol air mineral 600 mili.
Belum terasa haus karena masih gelap. Udara dingin makin mencekam karena saya
tidak bergerak. Hanya duduk menunggu. Tiba tiba dari kejauhan muncullah
beberapa kerlip cahaya senter, semakin mendekat, tetapi bukan cahaya senter
dari rekan-rekan saya. Mereka menyapa dan mengajak melanjutkan pendakian bersama.
Saya ikuti mereka.
Rupanya
mereka juga tersesat sama seperti saya, tetapi dengan perbekalan yang lebih
mumpuni. Diberinya saya kurma, pengganjal lapar tengah malam. Kami terus
berjalan menengadah. Badan Mahameru seraya menantang untuk dijelajahi.
Entah
di kontur kemiringan sebelah mana kami kembali berisitirahat. Sudah sejauh ini,
sudah setinggi ini, kerlap kerlip lampu pendaki lain mulai terlihat beriringan dibawah.
Rupanya jalur yang menyesatkan tadi memangkas lajur pendakian. Semburat terang
matahari mulai terlihat di ujung angkasa. Kami terus mendaki.
Mahameru
memang perkasa, semakin tinggi semakin keras pula tabiatnya. Pasir yang kami
injak sering merosot, menggoda emosi. Semakin terengah-engah, semakin senang
lah Mahameru menggoda. Apalagi kali ini Mahameru bersekutu dengan Matahari
pagi. Siap memanggang kami yang coba-coba meraih puncak. Kami kewalahan.
Pagi
benar-benar merekah, matahari terang benderang. Nun di punggungan Mahameru sisi
yang lain, rombongan saya terlihat melintas. Kami berteriak bersahut-sahutan.
Senang sekali bertemu mereka lagi. Kami terus berjuang menuju keatas.
Lebih
dari dua jam lamanya setelah matahari berkuasa penuh diatas Mahameru, saya
mulai merasakan apa yang namanya putus asa. Entah di ketinggian berapa meter
diatas permukaan laut saat itu, yang pasti kaki saya tidak bisa lagi diajak
menjejak kemiringan tanah. Rasanya ingin pulang. Rasanya ingin kembali ke tenda.
Rasanya ingin segera meluncur turun ke bawah. Rasanya ingin segera menyudahi
pendakian tak berujung ini. Rasanya ingin mundur. Rasanya saya kalah. Peduli
setan apa yang ada di pucuk sana. Saya sedih bukan kepalang. Saya telah putus
asa.
Kepalang
tanggung, saya duduk diam tidak tahu apakah akan turun kebawah atau terus
menanjak keatas menjejak di puncak Mahameru. Beberapa pendaki yang sudah mulai
turun membagi energi positifnya. Mereka mengatakan Puncak tak jauh lagi,
bersabarlah, tetap semangat. Rasanya transfer semangat tadi cukup memberikan
energi untuk melanjutkan perjalanan. Saya coba lagi melangkah. Berat. Berat
sekali rasanya.
Satu
langkah keatas, saya terperosok dua langkah. Melangkah lagi, terperosok lagi.
Oh Mahameru, apakah kau tidak ingin dikunjungi. Saya coba terus melangkah
hingga tidak lagi terperosok, melainkan lebih parah. Saya jatuh terjerembab, berulang-ulang.
Di
pikiran saya saat itu hanya ada satu tujuan. Puncak Mahameru, saya tidak mau
yang lain. Saya tidak mau pulang. Saya tidak mau turun sebelum menginjak tanah
tertinggi yang ada di pulau jawa. Tapi sudah tidak ada daya lagi, saya jatuh
tertelungkup tidak berdaya.
###
Botol
air mineral yang saya pegang sudah kering kerontang. Saya genggam erat entah
berharap apa. Tiba-tiba ada pendaki yang sudah turun dari atas, menggoyang
tubuh saya dan berkata kalau puncak Mahameru sebentar lagi. Tanggung sedikit
lagi, jangan putus asa. Dia memberikan sebotol air miliknya. Saya teguk dan
berterima kasih. Pendaki itu menghendaki agar saya membawa botol airnya. Dia
sudah perjalanan turun ke bawah, tidak perlu air lagi.
Benar
kata orang, bahwa tabiat manusia sesungguhnya terlihat ketika mereka berada
diatas gunung. Dari berbagai kemungkinan yang ada, berbagai kondisi, akan
memberikan pilihan-pilihan lain dalam bertindak. Selepas pendaki nan baik itu
meluncur kebawah, saya bergegas melanjutkan pendakian yang tak tahu kapan akan
berakhir. Masih sama, menjejak pasir kemudian merosot. Hanya semangat yang
membuatnya bisa bertahan.
Dengan
wajah terus menengadah berharap segera sampai di puncak Mahameru, saya tidak
lagi memikirikan bahwa rupanya Matahari sedang berpesta pora membakar kulit.
Sedikit demi sedikit, peluh yang ada di wajah saya usap dengan tangan berbalut
sarung. Efeknya, meninggalkan luka goresan, sedikit demi sedikit. Tidak terasa,
tapi tunggu kawan, rasa pedih itu muncul belakangan. Bukan main.
Demi
melihat beberapa pendaki lain yang senasib sepertanggungan dengan saya,
memberikan kobaran semangat, bahwa masih ada teman untuk sampai di puncak
Mahameru. Saya terus bertahan, merembet sedikit demi sedikit, menyambung asa
yang sempat putus.
Pucuk
dicinta ulam pun tiba. Apa kabar puncak Mahameru, senang bertemu.
Hari yang sama pada 490 Sebelum Masehi
Marathon, Yunani
Perang
hebat baru saja selesai. Prajurit berkemas-kemas merapikan sisa peperangan.
Bangsa Persia takluk di tangan serdadu Yunani. Adalah Pheidippides, seorang
prajurit Yunani, yang dikirim dari kota Marathon menuju ke Athena untuk
mengumumkan kemenangan perang yang gilang gemilang. Demi mengabarkan sukacita
itu, Pheidippides berlari sepanjang 42km tanpa berhenti.
Euforia
Pheidippides membuncah, sepanjang jalan dari Marathon ke Athena tidak sekalipun
dia berhenti demi segera menyampaikan kabar gembira. Sayangnya dia meninggal
dunia begitu berhasil menyampaikan pesan yang berbunyi “khairate, nikomen”. Tahukah kawan apa arti pesan itu, tak lain dan
tak bukan artinya “Jayalah, Kita Menang.”
Agustus 2015
Bali, Indonesia
Timbangan
badan nan agung itu selalu setia. Selepas mandi, jarum penunjuk angka masih
selalu bertengger di angka 90, tidak berkurang sedikit pun. Timbangan badan,
sekali lagi, hanya bisa melenguh ketika sang majikan menginjaknya. Membisikan
sesuatu agar sang majikan berbuat sesuatu, sebab tak lama lagi dirinya tak bisa
menunjuk lebih dari angka 90. Jarumnya sudah berkarat, takut tidak akurat.
Kawan.
masihkah teringat kejadian tahun lalu ketika saya terseok-seok mendaki puncak
Mahameru. Terbakar teriknya matahari dan terbungkus debu pasir Mahameru.
Bangkit dari putus asa, menjemput cita di ujung pendakian. Kali ini saya nekat
mengulang tantangan. Tapi tidak mendaki. Kali ini akan menjadi catatan sejarah
pertama saya untuk menaklukan jalur sepanjang 42km. Mencoba berlari marathon.
Demi sang timbangan badan.
Persiapan
full marathon ini sudah saya persiapkan tujuh bulan lamanya. Kenapa tujuh bukan
enam atau delapan bulan karena Tuhan suka angka ganjil. Mengunduh aplikasi lari
kekinian yang sedang marak, saya tertular virus itu. Tujuh bulan lalu saya
berikrar untuk sampai di 1000 km sebelum mengikuti Bali Marathon. Ikrar saya di
dengar oleh aspal jalan raya.
Aspal
manapun telah tercium oleh kaki ini. Saya berlari sana sini memenuhi janji.
Janji kepada diri sendiri tentang si 1000 km. Apa mungkin, apa yang akan
terjadi setelah 1000 km. Menganut prinsip sedikit demi sedikit lama-lama
menjadi bukit, tabungan lari saya mulai menampakan hasil.
Lima
hari sebelum hari pertandingan tiba, 1000 km telah berhasil saya paripurnakan.
Pada kilometer ke 998, rasanya hasrat ingin menyerah itu kembali hadir. Rasa menyerah kembali menyergap kaki, seakan tidak mau lagi diajak berlari. Kaki mulai merajuk. Berusaha menolak
keinginan tuannya untuk menunaikan sisa 2 km lagi. Kurang ajar.
Akhirnya
kaki itu terpaksa harus dibujuk-bujuk rayu. Dijanjikannya akan digosok hingga
wangi ketika mandi dan akan diajak pergi ke tukang urut setelah selesai
marathon nanti. Rayuan berhasil, kaki itu kembali bergairah. Apalagi ketika dia
dijanjikan akan diberikan hiasan gelang, mirip gelang yang dipakai peselancar
untuk menautkan tali papan selancarnya. Kaki itu bersemangat, sisa 2 km cincai
saja.
Kawan,
pasti kalian pernah mendengar tentang sebuah perjalanan panjang selalu dimulai
dari langkah kecil. Begitu juga dengan berlari. Tidak pernah terbayangkan bahwa
saya akan menempuh 1000 km. Padahal awalnya untuk berlari satu keliling
lapangan bola saja, rasanya sudah seperti hidup segan mati pun tak mau. Lantas
banyak yang bertanya apa motivasi saya melakukan itu. Justru motivasinya adalah
untuk menambah semangat, karena tanpa semangat, mimpi-mimpi saya tidak bisa
diraih. Saya masih setia memeluk mimpi itu. Erat-erat.
###
42,195
kilometer. Bayangkan itu. Jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari jika
ingin menyempurnakan lari marathon. Tidak pernah ada dalam kamus hidup saya
untuk mengikuti lomba lari marathon. Membayangkan lari 5 km saja sudah membuat
kepala pening. Tapi kali ini terlanjur nekat, mendaftarkan diri bersusah payah
untuk menyelesaikan dan menuntaskan sebuah pengalaman hidup yang baru,
marathon. Euforia luar biasa, padahal berlari saja belum.
Kenapa
harus ada embel-embel 195 meter pada lari Marathon. Perkaranya ketika lomba
lari Marathon dilaksanakan nun di Inggris sana, jarak yang ditempuh dari Windsor
Castle menuju White
City Stadium harus pas finish
di depan tribun dimana tepat Raja Inggris duduk menonton. Bukan main.
Pesan
moral dari pengukuran jarak untuk lomba lari marathon adalah jadilah seorang
raja. Bukan sembarang raja, jadilah seorang Raja Inggris dan pergilah menonton
marathon, jika ingin merubah panjang-pendek jarak tempuh lomba lari ini. Untung
sang raja waktu itu hanya duduk menonton, bagaimana jika dia ikut lomba
marathon, bisa lain lagi urusannya.
Lalu bagaimana nasib sang timbangan badan. Dirinya semakin sehat, sebab setiap kali sang majikan menginjaknya, bunyi decitan yang dihasilkan akibat dirinya bergesekan dengan lantai keramik tidak lagi berisik dan jarum penunjuknya tak lagi mengerang-ngerang macam beruk tersangkut di dahan pohon. Jarum timbangan tidak perlu sekarat di angka 90, cukup berhenti di angka 76.
Kawan,
saya memulai semuanya dari nol. Saya sempat berhenti berlari namun saya mulai
lagi. Hingga sekarang saya masih mengejar mimpi-mimpi yang tertinggal. Ketika ada
yang mengatakan bahwa impian itu telah terlambat, ketauilah bahwa itu hanya
alasan untuk menyerah. Tak seorangpun dapat menghalangi saya untuk menyelesaikan
marathon pertama ini, kecuali diri saya sendiri. Saya tiba di garis finish
dengan gilang gemilang.
Agustus 2016
Bali, Indonesia
Seolah
euforia menginjakkan kaki di garis finish pada marathon tahun lalu di Bali baru
saja terjadi. Masih terasa membekas. Masih terasa kegembiraannya. Senangnya
ketika teman-teman yang sudah lebih dulu selesai menamatkan marathon, menunggu
saya di garis finish. Mereka menyuarakan, meneriakan, dan mengelu-elukan ketika
melihat saya pada jarak 400 meter terakhir. Bagai menyambut prajurit menang
perang.
Sayup-sayup
dari kejauhan terdengar suara teman-teman yang terdengar seperti sedang
memercikkan semangat supaya saya berlari lebih kencang menuju garis finish.
Rasa lelah sepanjang 42km dibelakang seolah menguap entah kemana. Adrenalin
meningkat dan saya merasakan kebahagiaan luar biasa. Semakin dekat menuju garis
finish, semakin pula saya dilanda kegembiraan tak terperi. Saya pacu kaki ini
secepatnya, tapi sejujurnya pada saat yang bersamaan, saya juga ingin merasakan
momen penyelesaian marathon ini dengan slow
motion.
Virgin marathon tahun lalu
meninggalkan pengalaman yang luar biasa. Kali ini, saat ini, kembali saya
berdiri bersiap di tempat yang sama. Saya ingin mengulang rasa bahagia itu,
rasa gembira selama menempuh perjalanan lebih dari 42 kilometer di Bali, walau
berpeluh darah sekalipun akibat ruam kulit akibat pangkal paha yang bergesekan
sepanjang jalan, tidak saya hiraukan. Bagaimana sorak sorai penonton sepanjang
jalan dan pemandangan indah yang tiada menjemukan menemani saya berlari.
Kembali
1000km telah saya paripurnakan. Saya ingin memulai lari full marathon ini
dengan penuh semangat, saya ingin berlari sepenuh jiwa dan raga, saya ingin
mengakhirinya dengan lebih kuat. Saya akan kenang momen ini seumur hidup untuk
saya ceritakan kepada anak dan cucu nantinya. Saya tidak akan begitu saja
berhenti perkara lelah, saya baru akan berhenti setelah saya selesai, seolah-olah
saya adalah seorang Pheidippides yang berlari tanpa berhenti seraya menyerukan
pesan “khairate, nikomen”. Jayalah kita menang.
@arkilos
Komentar
Posting Komentar
Komentar aja mumpung gratis