MENJADI warga mayoritas adalah bagian hidup saya. Tinggal di pulau Jawa, berasal dari suku Jawa pula –walau mata saya sipit, apalagi jika tertawa, tinggal segaris, sering disapa Koh daripada Mas-, lahir dan hidup di ibukota negara, bersekolah dan bekerja. Semuanya mayoritas. Agama saya pun agama mayoritas yang dianut paling banyak oleh penduduk Indonesia. Hidup serasa mudah saja. Perayaan hari raya, beribadah, bersekolah dan bersosialisasi, semuanya mudah saja, aman, damai, tenteram, loh jinawi. Budaya yang saya anut pun budaya mayoritas, ah nikmat mana lagi yang harus saya dustakan. Kawan, jika kalian berada di posisi saya, pernahkah kalian membayangkan apa yang dirasakan kaum minoritas? Saya tidak pernah membayangkannya hingga saya tiba di Yangoon.
Sekejam-kejamnya ibu
tiri masih lebih kejam ibukota. Buktinya adalah anak-anak nun dari desa
Taunggyi yang berjarak lebih dari sepuluh jam perjalanan menggunakan bus dari
Yangoon, dipaksa untuk datang ke ibukota. Demi bekerja, demi uang, demi mencari
kehidupan. Walau begitu, mereka pantang mengemis.
Kawan, lihatlah itu
siapa yang tertidur pulas di area tunggu keberangkatan bandara KLIA2. Tertutup
sarung, demi menyumpal pori-pori tubuh akibat hawa dingin bandara sejak tengah
malam. Kalau dulu Kuala Lumpur terasa jauh dan asing, tapi kini, saya justru
merasa bandara ini adalah homebase sebelum
menuju destinasi lain. Jadi saya sama sekali tidak berkeberatan untuk ngampar alakadarnya menunggu jadwal
penerbangan lanjutan.
Sejak saya mengenal
Association of South East Asian Nations atau yang biasa disingkat ASEAN, ketika
zaman di Sekolah Dasar dulu, maka sejak itu pula lah saya jatuh cinta dengan
negara-negara ASEAN. Nilai ujian saya selalu melambung tinggi bak balon yang
baru diisi helium setiap kali ditanya kelima negara pendiri ASEAN. Indonesia,
Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina. Sebab pertanyaan yang ditanyakan
pasti itu lagi-itu lagi, seputar nama Ibukotanya dan nama perwakilan delegasi
ASEAN. Baru kemudian Brunei Darussalam ikut bergabung. Menjadi enam negara.
Semakin lama, jumlah negara ASEAN pun bertambah. Ikutlah Vietnam, Kamboja, Laos, dan Myanmar menyemarakan keluarga ASEAN.
Kegiatan organisasi
ASEAN juga semakin beragam, yang saya ingat adalah adanya ASEAN Games di Chiang
Mai tempo hari. Waktu itu saya hanya menerka-nerka saja dimana itu letak ChiangMai. Bahkan cara menuju ke negara-negara ASEAN itu dibutuhkan paspor pun, saya
tidak mengerti. Udik sekali.
Depok,
Indonesia
Masa
Sekolah Menengah Pertama
Dia baru tiba dari Finlandia, kurus
tinggi semampai untuk anak usia SMP sepantaran. Berkulit sawo matang dengan
andeng-andeng di pergelangan tangan kanan. Wajahnya manis campuran Jawa dan
sedikit, -sedikit sekali-, bercitarasa India. Rambutnya panjang, dikepang satu
sepinggang. Senyumnya renyah, menyembulkan gingsul malu-malu. Ketika dia bangun
dari kursi dan maju ke depan kelas, selalu menyilangkan tangan
berandeng-andengnya kebelakang pinggang. Seolah ingin memperlihatkan kepada
saya, yang duduk tepat di belakangnya. Gerak jalannya ketika dia bangun dari
duduk, mengambil kapur, menulis di papan tulis, sampai duduk kembali di
kursinya, saya hapal betul adegan itu secara paripurna. Kawan, tahukah kalian
ini yang disebut ganjen tingkat menengah pertama sedang melanda anak baru gede.
Monik, menyapa ramah
di hari pertama kepindahannya ke sekolah saya. Tahun ini tahun terakhir kami
mengenyam pendidikan wajib belajar sembilan tahun sesuai program pemerintah.
Lalu kenapa Monik bisa nysar dari Finlandia sampai ke Depok, apakah dia datang
khusus untuk menemui saya? Kemudian sengaja duduk di depan kursi saya tanpa
mengacuhkan kalau sejak saat itu saya merasa lebih bahagia daripada anak SMP
manapun di planet bumi.
Ik ben Monik, hoe is het ermee? kemudian dia mengulurkan tangan. Apa itu ikben? Kacamata
riben? Ternyata wahai orang udik, itu adalah Bahasa Belanda yang saya tidak
tahu bagaimana menuliskannya secara benar. Hanya terdengar di telinga saya
menyerupai ikben dan huisetdermey yang berkesan mewah ningrat ala bangsawan,
artinya: nama saya adalah Monik, apa kabar? Kalau Monik tidak cepat-cepat
tertawa menghilangkan ragu dan gugup di wajah saya, hampir saya menjawab sapaannya
dan mengenalkan bahwa Nama Saya Budi, gagap, gagap gampita. Alamak, mulai saat
itu saya bersumpah akan mencintai bahasa-bahasa lain selain Bahasa Indonesia.
“Hoe is het ermee?”
-Bahasa
belanda, artinya: apa kabar?, biasanya digunakan untuk menyapa orang yang
seumuran-
Setahun terakhir masa
di SMP itu adalah masa paling indah. Monik, yang kaos kakinya paling panjang
daripada pelajar putri lainnya hingga menutupi seluruh betis, selalu
mengajarkan bahasa asing hingga kami mempunyai bahasa rahasia yang disebut
Bahasa Sentringen. Jika diucapkan, seolah-olah kami berdua fasih berbahasa
Jerman. Monik sungguh jenius bisa menguasai banyak bahasa. Tentunya dia juga
sangat manis, baik hati, ramah, dan tidak sombong. Kawan, jika ada istilah
cinta monyet, bolehlah dikatakan saya sedang dilanda cinta monyet itu. Tidak,
bahkan lebih besar lagi daripada cinta monyet. Cinta beruk pun boleh. Ah, tidak
cinta gorilla lebih baik. Tunggu bukankah paling besar kingkong. Sebut saja,
saya sedang dilanda demam cinta kingkong. Besar, besar sekali.
Setahun rasanya cepat
saja. Setelah ujian akhir sekolah, saya tidak pernah lagi bertemu Monik. Entah
bersekolah dimana dia. Apakah kaos kakinya masih panjang macam kaos kaki
Napoleon Bonaparte? Apakah kembali ke Finlandia atau justru ke Belanda, negeri impiannya? Satu hal yang pasti, sejak saat itu, saya sangat tergila-gila dengan
bahasa asing dan luar negeri. Entah dimana letak luar negeri, setiap kali
mendengar kata luar negeri, semangat saya membuncah. Dulu saya tidak tahu
alasan apa sebenarnya hingga saya mampu menghafal kosakata beragam bahasa. Ah,
kawan tahukah kenapa? Sini saya beritahu, sebenarnya saya belajar berbagai
bahasa agar bisa lagi bertemu dengan Monik. Suatu hari nanti.
Yangoon,
Myanmar
2015
Sule Paya menjulang angkuh ditengah
kota. Sambil masih kikuk karena baru turun dari bus bernomor 51, seluruh Pagoda Sule Paya itu
berhasil dua kali saya kelilingi. Beberapa saat sebelum itu, pesawat nyaris
gratisan yang saya tumpangi dari Kuala Lumpur mendarat di Yangoon. Saya
berjalan kaki keluar bandara, menuju jalan raya demi mencari bus bernomor 51
atau 53. Ternyata angka yang tertulis di kaca depan bus menggunakan Bahasa
Burma. Runyam sudah.
Begitu mendapatkan
bus bernomor 51, -hasil jerih payah tanya orang kanan kiri-, saya menangkap
sesuatu yang ganjil. Bus itu, dan
mayoritas kendaraan di Yangoon, meletakkan setirnya di sisi kanan. Ajaibnya
lagi, mereka berkendara di sisi kanan juga. Sehingga jika penumpang ingin naik
kendaraan harus agak memutar sedikit, karena pintu masuknya berada di sisi
kiri. Oh, lucunya kota ini.
Rencana saya adalah langsung
mencari bus menuju Bagan. Ibarat menggarami lautan, sia-sialah rencana saya,
sebab tak ada lagi bus yang berangkat
kecuali malam nanti. Itu pun harus dari terminal bus Aung Mingalar yang penuh
perjuangan untuk menuju kesana. Semangat tetap berkobar melihat Bagan.
Menunggu waktu
berangkatnya bus ke Bagan, saya mencoba Athoke. Sejenis mie lokal yang cara
penyajiannya harus dicampur dengan tangan terlebih dahulu. Memang Athoke,
secara harfiah berarti ‘mencampur’. Jadi mie kuning itu dicampur dengan daun
teh, kacang-kacangan serta bumbu-bumbu lainnya menggunakan tangan. Tingkat
kepedasan pun bisa diatur sesuai minat pembeli. Jangan tanya saya tentang
higienisme dari masakan itu. Sebagai gambaran, saya tidak melihat adanya itikad
baik dari sang penjual Athoke untuk membersihkan tangannya terlebih dahulu atau
membalutnya dengan plastik sebelum melumuri Athoke dengan berbagai bumbu.
Kesempatan tidak
datang dua kali. Athoke pun harus dirasakan, maka saya coba pesan satu porsi,
mengumpulkan nyali, menyiapkan keberanian, dan mengatur strategi agar bisa
menikmati makanan yang dicampur legit dengan tangan itu. Rasanya tidak terlalu
spesial, Athoke yang saya cicipi lebih terasa menggunakan penyedap rasa yang
berlebihan.
###
Suatu kali guru matematika saya di SMP
pernah mengatakan kepada murid-muridnya kalau kalian nanti akan tiba pada masa
untuk tidak mendapatkan apa yang benar-benar kalian inginkan, sesuatu yang
kalian cita-citakan. Jangan bersedih, jangan berputus asa, sebab kehidupan di
dunia ini sudah dihitung sedemikian cermatnya oleh Tuhan hanya untuk kalian.
Namun begitu, tetapah terus bermimpi dan melakukan yang terbaik. Saat itu saya
hanya melompong bengong, baru belakangan menyadari makna pesan mendalam guru
matematika saya yang bernama ibu Dra. Wiwi Gustiwi.
“Jangan bersedih, jangan
berputus asa, sebab kehidupan di dunia ini sudah dihitung sedemikian cermatnya
oleh Tuhan hanya untuk kalian.”
–Guru matematika SMP, yang
menjabat wali kelas-
Akibat derasnya hujan
di Yangoon, saya harus membatalkan rencana perjalanan saya menuju Bagan.
Ditambah lagi saya diare setelah mengudap Athoke, padahal saya sudah cuci
tangan, tapi penjual Athoke tidak cuci tangan rupanya. Saya harus melakukan
sesuatu di Yangoon ini.
Lelah berjalan tak
tentu arah di kala musim penghujan, membawa saya tiba di sisi barat Merchant
Road. Rupanya Pagoda Sule ini dijadikan penanda sisi mata angin di Yangoon.
Beberapa blok di sisi barat Yangoon telah saya telusuri demi mencari penginapan
murah yang menyediakan sarapan lezat bergizi. Tibalah saya di Okinawa
Guesthouse di blok ke-32. Di lorong inilah saya mencatat kekejaman yang
dilakukan ibukota terhadap anak-anaknya.
###
Saya perhatikan banyak sekali pekerja di
Yangoon yang masih anak-anak. Mereka bisa berprofesi menjadi penjaga toko kue,
mengamplas batu di toko las bubut, bantu-bantu di toko elektronik, pembantu
merangkap resepsionis di penginapan dan paling banyak bekerja sebagai pelayan
restoran. Tapi tidak banyak yang memilih profesi sebagai pengemis. Disitulah
saya langsung teringat perempatan-perempatan di Indonesia. Bocah-bocah kurang
beruntung di negara yang paling saya cintai ini, lebih memilih menjadi pengemis.
Mungkin pendapatan mereka lumayan karena orang Indonesia memang terkenal
dermawan.
Kawan, salah dua bocah
itu bernama Mambo dan Paiso. Mambo berusia 14 tahun dan Paiso 10 tahun. Kakak
beradik. Mereka berdua laksana komandan bagi beberapa bocah lain seusianya yang
juga bekerja di Okinawa. Awalnya saya acuh saja kenapa banyak anak-anak yang bekerja
di penginapan ini. Tidak kah mereka pergi sekolah. Iseng saya tanya-tanya
mereka.
Mambo sudah hampir
dua tahun bekerja di Okinawa. Itu berarti usianya baru 12 tahun ketika pertama
kali tiba di Yangoon. Dia berasal dari sebuah desa nun di Taunggyi sana. Lebih
dari sepuluh jam perjalanan dari Yangoon, menggunakan bus. Jika menggunakan
kereta akan lebih lama lagi. Jika kalian mencoba bepergian dengan kereta di
Yangoon, jangan berharap akan membeli karcis di stasiun. Tiket kereta di
Yangoon dijual terpisah dengan stasiunnya. Entah unik atau justru merepotkan.
Mambo sang pekerja
keras awalnya hanya bekerja sebagai babu serabutan di Okinawa. Membersihkan
tempat tidur, bersih-bersih ruangan, memasak, membantu menjaga resepsionis.
Begitu terus dari pagi hingga malam. Hingga besok pagi. Hingga besok paginya
lagi. Hingga hampir dua tahun sudah.
Melakukan ritual
kerja sedemikian serabutannya, dalam usia yang masih belia, menjadikannya
tangkas dalam urusan menerima tamu asing, berbenah dan remeh-temeh urusan per-resepsionis-an.
Penguasaan bahasa inggrisnya pun lumayan mahir untuk anak seusianya. Dalam pada
itu, saya jadi tersipu malu, bila teringat ketika saya seusia Mambo, masih saja
senang merengek dan sibuk dengan demam cinta kingkong. Murahan, murahan sekali.
Mambo yang gemar mengenakan Longyi, ternyata disusul oleh adiknya
Paiso ke ibukota. Alasan klasik, orang tua mereka tidak mampu membiayai
kehidupan keluarga. Terpaksa kedua kakak-beradik itu harus merantau sejak dini.
Putus sekolah. Ketika saya bertanya pada Mambo, seberapa sering mereka pulang
kampung, maka jawaban Mambo hanya mengacungkan tiga jari.
Saya pikir, dengan
jarak perjalanan hanya 10 jam saja menggunakan bus, mereka mudik setiap 3
minggu sekali di akhir pekan. Ternyata Mambo menggeleng. Bukan 3 minggu sekali
atau 3 bulan sekali. Tapi 3 tahun sekali. Itu artinya sejak kedatangannya ke
ibukota, belum pernah sekalipun dia pulang ke rumah. Kawan, tidakkah ibukota
itu kejam?
I wish I could buy them a back home bus ticket, so they
can meet their family. But they said: No time, very busy with working. Oh, God.
###
Jika kawan bernasib sama dengan saya,
kaum mayoritas yang hidup disuatu tempat, merasakan kenyamanan hidup yang
tersedia lahir batin. Tidak suka diganggu oleh konflik-konflik murahan dari
para kaum minoritas apalagi yang berbau SARA, kalau boleh saya sarankan,
cobalah berkunjung ke destinasi dimana mayoritas-isme yang kita rasakan berubah
menjadi minoritas. Berani? Jujur, saya tidak berani. Tidak mau lebih tepatnya.
Tapi pengalaman di Yangoon memberikan pelajaran baru tentang apa yang kaum
minoritas rasakan, akhirnya saya rasakan juga.
Saya dibesarkan
dengan budaya keramah-tamahan ala timur, keramah-tamahan ala Indonesia. Rasanya
hanya tersisa ketika saya sampai di usia jenjang SMA. Semakin kemari, keramahan
tulus ala Indonesia makin berkurang. Bukan hilang, bukan tidak ada lagi, masih
ada keramahan itu. Tapi berkurang kadarnya. Dulu, dulu sekali banyak testimoni
dari turis asing yang melancong ke Indonesia atau paling sering ke Bali,
mengatakan kalau orang Indonesia itu ramah-ramah. Ah, saya sebagai orang Indonesia, melambung
harga dirinya karena menjadi bagian dari keramahan orang Indonesia. Tapi
sekarang, coba kawan berkunjung ke Bali, ibarat menyalahkan globalisme dan
akulturasi budaya, keramahan yang hilang itu dianggap wajar saja. Jakarta,
rasanya sekarang sangat tidak ramah,
walaupun saya mencintai ibukota, tapi saya harus mengakui bahwa ibukota memang
kejam.
“Jakarta, rasanya
sekarang sangat tidak ramah, walaupun
saya mencintai ibukota, tapi saya harus mengakui bahwa ibukota memang kejam.”
Keramahan di Yangoon,
masih patut diacungi jempol. Entah karena saya termasuk orang asing disana,
atau memang semua orang di Yangoon memang ramah. Mulai dari bertanya jalan,
makan, berbelanja, beribadah, semua orang yang berkomunikasi dengan saya
menunjukkan antusiasme keramah-tamahan luar biasa. Bertanya jalan, saya
diantarnya hingga ketujuan, padahal saya hanya bertanya arah. Makan, saya
dibayari, padahal harga makanan emperan yang saya beli takut memberatkan
mereka. Berbelanja, saya mendapatkan asistensi pelayanan luar biasa, bahkan
ketika diluar toko turun hujan, disuruhnya saya membawa payung mereka agar
terlindung hujan, tentu saja saya tolak. Paling membahagiakan adalah ketika
beribadah.
Saya yang terbiasa
bebas berkunjung ke Masjid manapun di Indonesia, kapan saja, harus menunggu
hingga waktu dibukanya Masjid di Yangoon yang disesuikan dengan jam sholat.
Padahal jadwal sholat saya pun masih belang-belang, tapi justru ketika masjid
itu susah dicari, entah mengapa saya malah rajin menunggu waktu beribadah.
Suara azan yang kerap terdengar 5x sehari di Jakarta, tidak begitu saja
dikumandangkan bebas di langit Yangoon.
Bisik-bisik azan terdengar, hanya keras
berbunyi di dalam masjid. Samar terdengar dari luar. Tapi justru disitulah
entah kenapa saya lebih menikmati momen beribadah. Rindu rasanya. Seolah ibadah
tidak perlu digembar-gemborkan, ini urusan saya dan Tuhan saya.
Menjadi seorang
muslim dari Indonesia yang berada di Yangoon pun sangat terasa spesial ketika bertandang
ke dalam masjid. Jemaah kebanyakan adalah orang Burma, keturunan dari Pakistan
dan Bangladesh atau negara sekitar Myanmar. Saya seperti alien berada diantara
mereka, kulit saya, wajah saya, postur tubuh saya, gerak-gerik saya, semuanya
menjadi minoritas. Tapi ada satu kesamaan saya dengan mereka, sesama muslim.
Disitulah spesialnya, mendadak saya diperlakukan bak pejabat ibukota yang
datang sowan kedaerah terpencil. Kalaupun ada karpet merah, pasti sudah
tergelar demi menyambut saya.
Where are you from?
Seorang pengurus masjid menyambut saya dimuka pintu. I am from Indonesia. Langsung pengurus masjid itu berbinar-binar,
laksana kedatangan tamu spesial. Padahal saya mah hanya apalah-apalah.
Perasaan ‘brother
muslim’ itu benar-benar membuat saya terharu. Kasak-kusuk mulai terdengar disudut-sudut
masjid, hanya kata Indonesia yang berhasil saya tangkap. Selebihnya kasak-kusuk
dalam bahasa Burma. Ketika saya menitipkan sandal dan payung, tidak diberinya
nomor loker sandal. Seolah sendal jepit saya sesuatu yang keramat dan spesial,
berasal dari nun jauh dari negara di seberang sana, tidak akan tertukar apalagi
hilang. Jadi, jangan macam-macam dengan sandal tamu Indonesia ini. Kira-kira
begitulah bunyi raut wajah penunggu loker, jika bisa saya terjemahkan dengan
kata-kata.
“Ibadah tidak perlu
digembar-gemborkan, ini urusan saya dan Tuhan saya.”
Setelah berganti
dengan sarung, -Pria Burma mengenakan sarung dalam kehidupan keseharian mereka,
yang disebut Longyi-, saya duduk menunggu dimulainya sholat berjamaah. Begitu
rokaat pertama dimulai dan imam selesai membaca surat Al Fatihah, di langit
masjid itu terdengar suara amin panjang. Hanya terdengar dari suara seseorang.
Seseorang yang datang nun dari Indonesia sana. Melengking.
Rupanya adab sholat
di Yangoon tidak mengenal aamiinn yang dibunyikan keras dan panjang seteleh
imam membacakan Al Fatihah. Mulut ini yang terbiasa menunggu amin setelah kata Walladhooliiin, sontak membeku menahan
malu. Tapi kawan, sekali lagi ibarat tabiat pejabat ibukota, tidak ada yang
salah. Semuanya wajar, tidak ada pejabat yang salah. Padahal kalau ada lubang,
rasanya saya ingin terjun kedalam situ.
###
Tidak banyak yang saya kunjungi selama
berada di Yangoon. Sebagian besar hanya bangunan tua dan Pagoda yang menjadi
ciri khas Yangoon. Shwedagon Pagoda misalnya, diperlukan 8 USD untuk dapat
mengintip masuk kedalam. Ini berlaku bagi turis asing saja. Mengingat tampilan
saya yang bisa disesuaikan dengan penduduk setempat dan berbekal sarung Longyi,
melengang lah saya masuk ke Shwedagon Pagoda. Gratis.
Berbagai pagoda di
negara-negara Indochina yang saya kunjungi, tidak saya temukan esensi
perbedaannya. Mereka semua indah, berkilau dan sakral. Tidak banyak yang saya
lakukan ketika mengunjungi Pagoda selain mengambil secuplik gambar.
Tempat lebih menarik di
Yangoon, menurut saya adalah Dawgyi Kan atau danau Kandawgyi. Letaknya persis
bersebrangan dengan Shwedagon Pagoda. Konon di tempat ini adalah tempat terbaik
untuk memotret Shwedagon Pagoda diwaktu matahari terbenam. Sebab, kilauan emas
Shwedagon akan terefleksikan di danau Kandawgyi, memantul sempurna. Saya belum
beruntung mengabadikan momen itu, perkara monsoon. Tapi saya akan kembali lagi ke
Myanmar suatu hari nanti.
** Sedikit tips ala-ala semoga berguna:
1. Berkunjung
ke Myanmar, perhatikan musim hujan atau yang disebut monsoon. Waktu terbaik
adalah di bulan Maret-May (musim panas) dan November-Januari (musim dingin).
Jangan seperti saya datang di bulan September, lebih baik siapkan ember.
2. Tidak
perlu membawa kartu kredit, karena pembayaran di Yangoon, dilakukan menggunakan
tunai. Ada satu hotel mewah yang saya kunjungi demi menumpang ke toilet bernama
Park Royal, saya taksir di hotel inilah kartu kredit akan diterima. Itu pun
dengan komisi charge 12%.
3. Tur
jalan kaki seputaran Sule Paya Pagoda wajib dilakukan. Banyak bangunan tua, kuil, gereja, masjid, dan hotel lawas. Cobalah makanan lokal sepanjang pinggir jalan. Mulailah dari Sule Paya ke arah Selatan,
Sungai Burma, hingga berakhir ke utara di Pasar Bogyoke Aung San.
4. Jika
anda beragama Budha, negara ini sangat pas sekali untuk anda. Anda bisa
sekaligus wisata religi. Banyak kuil dan pagoda yang sangat indah bertebaran
seantero kota.
5. Jika
anda beragama muslim, cobalah kunjungi beberapa masjid yang ada di Yangoon yang
terdapat di beberapa sudut kota. Pengalaman lain beribadah akan anda rasakan.
6. Dari
Bandara menuju pusat kota bisa ditempuh menggunakan taksi atau bus kota. Taksi
mulai dari 8000 kyatt dan bus 200 kyatt saja.
7. September
2015, saya anggap 1 kyatt senilai dengan 10 rupiah. Jadi hitung sendiri ya.
8. Jika
ingin menggunakan bus dari bandara ke pusat kota atau sebaliknya, yang harus
anda lakukan adalah pergi keluar bandara. Susuri jalan sekitar 1 km menuju
jalan raya. Ikuti alur kendaraan, mereka semua menuju jalan raya. Jika anda
tidak yakin, bisa tanya orang. Cukup sebut Se Mi yang berarti Ten Miles. Disana
tempat bus kota nomor 51 dan 53 mangkal.
9. Dari
Se Mi (yang diucapkan seperti Damai), naiklah bus nomor 51 atau 53 ke arah
Sule. Sang kenek akan teriak-teriak kencang Sule-Sule. Jika, tidak mengerti bahasanya
atau tulisannya? Tanyaaa!!
10. Turun
di Sule (Sule Paya Pagoda) akan banyak guesthouse atau hostel murah. Hotel
mahal macam Shangrilla, Park Royal juga ada. Terserah budget anda.
11. Kalau
saya pilih hostel murah dekat Sule Pagoda. Rekomendasi saya adalah Okinawa
Guest House. Letaknya dekat sekali dengan Sule Paya Pagoda. Terdapat Okinawa 1
yang terdiri dari rooms only dan
Okinawa 2 yang menyediakan dormitory room.
Harga dormitory room mulai dari 10
USD per bed per orang. Kalau bayar
dengan Kyatt dapat diskon, bilang saja teman saya dari Jakarta #eh #siapague
#sokiye
12. Ke
Myanmar tidak pergi ke kota Bagan, ibarat ke Jakarta tidak liat Monas. Ibarat
ke Paris tidak liat Eiffel. Ibarat ke Bandung tidak makan Batagor. Ibarat ke
Palembang tidak makan Empek-empek. Ibarat ke Bali tidak lihat pantai #nyesekk.
Ibarat ke Amsterdam tidak mencoba seks bebas #eh #loh #ngaco. Ibarat ke
Singapur tidak foto dengan Merlion #sumpahgakpenting. Ibarat ke Raja Ampat tapi
tidak nyelam #matiajalo #ngapainjuga. Ibarat ke Bangkok tapi gak kencan ama
bencong #ogahamat #najistralala. Ibarat kemana ya, oh ibarat ke Surabaya tapi
gak ketemu ibu Risma #nge-fansberat, ketemu ibu Risma loh ya, jangan malah ke
Gg. Dolly karena udah ditutup #hidupbuRisma. Dan ibarat ke Makassar tapi gak
tau siapa itu Sultan Hasanuddin #sejarah #pentingsekaliwahaianakmuda.
13. Sialnya, saya tidak ke Bagan. Tapi dunia belum kiamat kok. Perkara monsoon gak bawa
payung dan diare kronis #manja #bhayy. Tapi justru ada alasan untuk balik lagi
ke Myanmar.
14. Makanan
di Myanmar, sayangnya tidak sesuai dengan lidah Jawa saya. Tapi haruslah itu
dicoba yang bernama Mohinga, Athoke, Samusa Thoke, sampai dengan Mondhi. Paling
tidak bisa memperkaya rasa yang lewat di lidah.
15. Silahkan
kunjungi Myanmar segera, sebelum semakin ramai oleh
kedatangan turis-turis yang berlandaskan azas kekinian.
16. Semoga
berhasil
liatin foto-fotonya jadi pengen ke myanmar juga deh :)
BalasHapusAyo mas Fahmi. Singgahlah ke Myanmar, suasana Burma penghujung tahun sepertinya asik :)
HapusAssalamualaikum Ari . . ini Bu Wiwi Gustiwi Guru Matematika di SMP N 2 DEPOK hingga kini masih betah ngajar disana . . Wah keren Reportasenya . . Sekarang Ari sudah jadi orang sukses ya . . ibu juga kadang nulis di Kompasiana. oiya sekarang Ari tinggal dimana ?
BalasHapusWaalaikumsalam ibu Wiwi. Apa kabar bu? Matematika saya hancur sekarang, kudu refresh lagi haha. Saya masih di Jakarta-Depok. Sesekali saja liat kota/negara sebelah. Kapan ada waktu reunian ya bu :)
HapusWih seru banget jalan2 nya maz
BalasHapusBlog yang sangat menarik, saya tertagih untuk terus membacanya. Keep writting!
BalasHapus