REKAN kuliah beberapa tahun yang lampau
ketika saya masih mengenyam pendidikan di Belgia pernah memberitahu jika ingin
menjadi pejalan sejati haruslah bertandang ke kota Sevilla. Konon kabarnya, belum ditasbihkan sebagai pejalan sejati apabila belum melihat makam pelaut ulung Christopher Colombus yang berada di dalam katedral Sevilla. Padahal pertama
kali saya berurusan dengan Colombus ini ketika saya duduk di bangku sekolah
menengah pertama. Menyimak perseteruannya dengan para pelaut lain sebut saja si Albuquerque, saya ingat
betul kejadiannya, itu pun sudah runyam. Apalagi jika harus mengunjungi pusaranya. Tetapi hari ini bulu roma saya merinding, karena saya kembali lagi
berhadapan dengan Colombus di sebuah kota yang bernama Barcelona.
Seragam
putih biru terasa sesak, karena saya sudah naik ke kelas dua. Massa tubuh saya
bertambah. Sepatu hitam yang biasanya membuat tumit lecet karena sering bergesekan
karena kebesaran, pun sekarang terasa pas. Artinya sudah setahun lamanya, sejak
berganti celana seragam berwarna merah menjadi celana berwarna biru, tidak
sekalipun saya pernah mendapatkan seragam baru, karena uang untuk membeli
seragam akan hadir jika warna seragam sudah amatlah pudar atau setidaknya ada
indikator sobek dibagian ketiak. Jika belum, berarti: cukuplah-kau-pakai-dulu-seragam-yang-masih-ada-itu-wahai-anak-muda! Belajar yang rajin jangan
kebanyakan gaya, seperti gaya mulut netijen yang gemar julid tak berfaedah.
Hello Again Colombus! |
Adalah
guru mata pelajaran sejarah saya bernama ibu Siti Ihsanah Yakub. Dirinya
berasal dari Nusa Tenggara Timur. Tugas beliau adalah tentu saja menjelaskan mata
pelajaran sejarah. Saya sangat menikmati ketika ibu Siti bercerita tentang peristiwa
perebutan rempah-rempah di Maluku. Menganganya mulut ini mendengar kisah yang
didongengkan ibu Siti, saya catat dan saya hapalkan kalau-kalau sampai ditanyakan
saat ujian sejarah. Saya harus dapat menjawabnya dengan lancar. Catatan saya
kala itu dimulai dari awal datangnya Colombus utusan Spanyol ke Indonesia, padahal sebenarnya Colombus ini aslinya Italia sebelahnya Tegal. Lalu
datanglah Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d'Albuquerque yang juga melipir
ke Indonesia, mereka datang berbondong-bondong demi berebut merica. Demi rempah-rempah
itulah yang menjadikan kedua bangsa ini rajin bertikai. Berebut bumbu dapur
hingga menyabung nyawa. Maka dari itu, dianggap tak seberapa kelakuan emak-emak
masa kini yang menawar harga cabai hingga titik darah penghabisan dan gemar
memasang lampu sein kanan ketika naik motor tetapi beloknya ke kiri.
Ketika
pertikaian Spanyol dan Portugis tak kunjung selesai, maka dibuatlah perjanjian
Zaragoza. Perjanjian itu disebut demikian karena dilaksanakan di kota Zaragoza,
negeri Spanyol atas prakarsa dari Paus. Sebab musababnya, Paus menilai kedua
bangsa ini terlalu ribut demi sesuap rempah. Kawan, itulah masa-masa sebelom si
Pitung memerangi Belande Gile hingga
kaum kumpeni itu bercokol di bumi Indonesia dengan perusahaan VOC-nya.
Hitchhike to Zaragoza! |
Ibu
Siti ketika mengajar, rasanya seperti orang berdongeng. Saya mencatat
kisah-kisahnya, padahal sejatinya apa yang beliau ucapkan itu adalah pelajaran
sejarah bagi anak sekolah menengah pertama, jika mereka ingin lulus sekolah. Setiap
malam catatan itu sering saya baca berulang-ulang. Bahkan ketika musim ujian tiba,
kata per kata dari catatan itu saya hapal! Dimana letak titik dan komanya, bukan
main. Tahukah kawan bahwa cerita perjanjian Zaragoza ini merupakan kelanjutan
dari perjanjian Thordesilles yang membagi bumi sebelah barat. Enak betul bumi
bulat dibagi sana-sini.
Kawan
tentu masih ingat jika Perjanjian Zaragoza ini berisi perjanjian untuk membelah
bumi sebelah timur. Dulu saya sempat kesal, seenak-enaknya saja Spanyol dan
Portugis membagi-bagi lahan orang. Padahal lahan yang ada di dalam Perjanjian
Zaragoza itu melibatkan daerah Maluku, negara Indonesia, negara saya tercinta.
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang kini sering kisruh sejak warganya
akrab dengan internet dan menyebut dirinya sebagai netijen. Sedikit-sedikit
dibawanya itu kesukuan, agama, ras, antar golongan kedalam ranah perpecahan
bertajuk hoax hanya untuk memecah belah Indonesia. Entah apa yang netijen
inginkan, tapi saya taksir keinginan mereka bukanlah berebut rempah seperti
perseteruan Spanyol dan Portugis. Keinginan netijen hanyalah perkara remeh-temeh,
ingin nyaring didengar seperti tong kosong yang nyaring bunyinya.
Ternyata
bumbu dapur memang biang keladi. Terlalu tumbuh subur di Kepulauan Maluku. Portugis
mendarat di Ternate. Spanyol mendarat di Tidore. Bertikailah mereka urusan
rempah. Ratusan tahun lalu. Hari ini di kota Zaragoza, sambil menikmati senja,
saya kok merinding ya. Jauh, jauh sebelum ada kesempatan bisa berada di
Zaragoza, saya pernah berandai-andai. Kapan saya bisa tiba di kota Zaragoza,
membuktikan cerita ibu Siti. Kali ini saya menyambangi Zaragoza.
Spoiler for Tidore Maitara as seen in currency of 1000 IDR |
Saya
juga semakin merinding karena sebelumnya, tanpa pernah saya rencanakan, tak
sengaja, saya pernah menjejakan kaki seperti yang dilakukan oleh kedua bangsa
bertikai itu. Pertama saya menjejak di Ternate, lalu saya menyebrang ke Tidore.
Entah kenapa waktu itu saya sangat ingin bermalam di Tidore. Sampailah saya di pulau
Tidore dan bermalam di Indonesiana, sebuah kota kecil di Tidore, mencicipi nasi
kuning dan ikan laut yang saya beli di kota kecil bernama Soa Sio. Kawan,
bersabarlah sedikit, akan saya kisahkan nanti indahnya pulau Tidore dan Maitara
seperti yang tercetak dalam lembaran uang seribuan.
Sunset-ing in Zaragoza |
Sore
di Zaragoza, menikmati matahari tenggelam. Sekarang saya berada disini, sebuah
kota sebelum Madrid jika berangkat dari Barcelona. Seperti kisah Colombus dulu,
kali ini gantian, saya yang berkunjung ke Spanyol dan Portugis. Tidak
memeperebutkan rempah. Hanya sekedar memberitahu kepada netijen, bahwa
jalan-jalan lebih baik daripada nyinyir di sosial media. Saya sudah berjumpa
dengan Colombus di Barcelona, selanjutnya akan saya temukan dimana si Alfonso
d'Alburquegue berada. Semoga saya beruntung di Lisabon nanti.
Komentar
Posting Komentar
Komentar aja mumpung gratis